Minggu, 17 April 2011

SEORANG SALIK

SEORANG SALIK

Seorang Salik[1], yang baru memasuki jalan (Thariqat), jangan harap hendak berhubungan dengan Allah Ta’ala atau Rasulullah SAW, tanpa ada orang tengah atau perantara, yaitu Syekh Shufi atau Guru Mursyid untuk menunjuki jalan. Seorang Salik hendaklah ada kesediaan diri untuk dibimbing oleh guru yang benar-benar ahli dalam bidang keshufian ini. Antara Syekh Mursyid atau Guru hakiki itu dengan Rasulullah SAW ada suatu hubungan yang teramat dekat, yang tiada mampu dilampaui jasmani, pertalian darah, keturunan, dan sebagainya.

Sekiranya Nabi Muhammad SAW masih hidup, kita dapat mengambil ilmu langsung dari Baginda dan tidak perlu lagi perantara. Tetapi Baginda telah wafat, maka terpisahlah Baginda dengan alam dunia dan seisinya. Oleh karena itu tidaklah dapat manusia berhubung langsung dengan Baginda. Begitu jugalah dengan Syekh-syekh keshufian yang hakiki. Apabila mereka telah kembali ke Rahmatullah, maka tidaklah lagi manusia dapat belajar langsung dari mereka yang telah kembali menemui Tuhannya.

Guru yang masih hidup itu mestilah ada hubungan keruhanian dengan Rasulullah SAW, yaitu orang yang benar-benar mewarisi ilmu dan keadaannya Rasulullah SAW itu. Dalam ajarannya guru itu menerima panduan dari Nabi dan ia hendaklah seorang Mukmin yang hakiki. Sang guru itu adalah alat atau wasilah untuk meneruskan kesinambungan jalan keruhaniannya itu. Selanjutnya adalah rahasia. Hanya orang yang layak memahaminya akan faham atas yang demikian itu.

Allah berfirman dalam Surat Al Kahfi ayat 17:

“Barangsiapa yang dihidayahkan Allah maka ia termasuk orang-orang yang diberi petunjuk. Dan bagi siapa yang Allah sesatkan (jalan)nya, maka sekali-sekali tidaklah akan mendapatkan Wali yang Mursyid.”

Dan dikatakan pula oleh seorang Wali Besar dari negeri Mesir, Syaikh Ibrahim ad-Dasuki Rahimahullah:

“Mencari Guru dalam thariqah sebagai jalan menuju kepada Allah itu wajib bagi setiap murid, meskipun ia merupakan seorang ulama besar.” [2]

Imam al Ghazali Rahimahullahu Ta’ala berkata: “Bermula pendinding antara murid dengan Haq (Allah Ta’ala) ada 4 macam: harta, kedudukan (kebanggaan), taqlid (ikutan/ tradisi), dan maksiat. Adapun hijab (dinding penyekat) harta keduniaan hanyalah dapat dihilangkan dengan melepaskan segala apa yang dimilikinya, sehingga tiada yang tersisa kecuali hanya sekedar mempertahankan hidupnya dan selagi masih ada tersisa kelebihan walaupun satu dirham, niscaya akan memalingkan hatinya dan menghijab hatinya dari Allah ‘Azza wa Jalla. Adapun hijab kebanggaan, bisa dihilangkan dengan menjauhi segala bentuk kedudukan (pangkat)….Adapun rintangan taqlid bisa dihilangkan dengan melenyapkan jiwa ta’asshub (fanatik) terhadap berbagai madzhab (ikutan)nya dan hanya berpegang pada kebenaran. Laa ilaaha illallaah Muhammadur Rasulullah adalah pembenaran Iman yang jernih, dan melenyapkan segala bentuk yang disembah selain Allah Ta’ala…..Adapun hijab maksiat adalah perintang yang hanya bisa dihilangkan dengan bertaubat dan meninggalkan daripada segala kezaliman serta memperteguh niat untuk tidak mengulang berbuat dosa dan menyesali segala dosa yang telah lalu…..Maka apabila telah terpenuhi syarat yang empat ini, telah terbebas daripada jeratan harta, kedudukan, laksana orang yang telah bersuci dan telah mengambil wudhu, dan telah siap untuk melakukan shalat. Maka perlulah seorang Imam untuk memimpin shalatnya sebagaimana seorang murid yang membutuhkan Syaikh atau Guru yang membimbingnya untuk menuntun ke jalan yang benar, lantaran jalan agama itu gelap/ rumit, sedang jalan syetan itu banyak dan terang. Maka siapapun yang tiada punya Guru yang membimbing, niscaya dituntun syetan ke jalan mereka yang sesat…….Maka pengawal keselamatan murid sesudah memenuhi persyaratan tersebut adalah Gurunya, maka harus mempercayakan diri atas Gurunya bulat-bulat laksana si buta yang berserah pada penuntunnya di tepi sungai, yakni pasrah kepada Guru dan tiada menyalahinya bagi tercapainya tempat yang ditujunya. Hendaklah diketahuinya bahwa manfaat kesalahan petunjuk Guru itu seandainya salah, jauh lebih bermanfaat daripada kebenaran usahanya sendiri seandainya ia benar”.[3]

Ketahuilah olehmu, wahai saudaraku yang menghendaki kebahagiaan di dalam dunia dan akhirat, yang menghendaki jauh daripada terpedaya dalam ilmu dan amalnya, mengambil thariqah itu kepada ahlinya. Itulah sebagai jalan para Nabi, Awliya, Muqarabin, orang yang Muttaqin dan jalan orang-orang yang Abrar. Maka barang siapa tiada menjalani jalan ahli Shufi dan tiada berthariqah kepadanya, niscaya ia terpedaya, meskipun ia membaca/ mempelajari 1.000 kitab selainnya, dikarenakan tiada terlepas daripada maksiat, seperti riya’, ‘ujub, takabbur, hubbud dunia dan sebagainya. Hal ini sebagaimana yang dikatakan Al ‘Arif billah Syaikh Abdul Wahhab as Sya’rani Rhm:

“Dan telah dimaklumi bahwasanya setiap orang tiada mendapatkan syaikh yang menunjukinya jalan untuk mengeluarkannya dari sifat-sifat tercela (seperti riya’, ‘ujub, takabbur, hasad, bakhil dan hubbud dunia), maka ia telah bermaksiat (melawan perintah) Allah dan Rasulullah SAW, karena ia tidak bisa mendapatkan petunjuk menuju jalan kebahagiaan/ kemenangan tanpa bimbingan seorang Syaikh meskipun ia telah hafal 1.000 kitab ilmu. Maka carilah seorang Guru wahai saudaraku dan ambillah nasehatku ini. Dan siapa-siapa yang berkata bahwa Thariqah shufi itu tiada memiliki dasar Al Quran dan Sunnah maka ia telah kafir (keluar daripada iman). Dikarenakan seluruh apa-apa yang telah diuraikan dalam akhlak (perangai) Shufi itu semuanya adalah akhlaknya Rasulullah SAW, baik dasar-dasarnya (ketauhidan) maupun aturan-aturannya (Fiqih, Thariqat dan Haqiqat)”.[4]

Demikian pula berkata Syaikh Yusuf Tajul Khalwati al Makassari dalam risalahnya[5]: “Kemudian wajib pula atasmu, jika engkau seorang salik yang bersungguh-sungguh lagi ikhlas dalam tuntutanmu dan dalam sulukmu sesudah menyucikan I’tikad semuanya seperti yang telah disebutkan, maka carilah seorang Syaikh yang shaleh lagi ‘Arif (makrifat) serta tahu memberi akan nasihat yang menunjukkan aib pribadimu dan dikeluarkan kamu dari mengikuti aib itu, dan mengajarimu memusuhinya. Walau sekiranya engkau mengembara ke tempat jauh dari kampung halaman dan keluargamu untuk mencari Syaikh mursyid. Sesungguhnya Syaikh itulah yang dikatakan: siapa yang mencari thariqah tanpa petunjuk dan tanpa ‘Arif (orang yang makrifat), sungguh ia mencari sesuatu yang mustahil. Mengapa tidak, sedang ia adalah pembuka pintu hatimu dan dialah ayah bagi ruhmu. Dia adalah membimbing engkau baik lahir maupun batin kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Hal demikian itu dikatakan, karena siapa yang tidak mempunyai seorang Syaikh, maka syetanlah Syaikhnya[6][6]. Bersabda Nabi SAW bahwa Syaikh yang ada pada zamannya seperti Nabi pada zamannya. Bersabda lagi Nabi SAW: “Ulamanya umatku, laksana Nabi-nabi Bani Israil”, yang dimaksudkan ulama disini adalah mereka yang memiliki ilmu dan yang mengamalkannya, menunjuki orang ke jalan Allah Ta’ala, memberi nasihat agar beribadah kepada Allah, seperti yang telah dikatakan oleh mereka, para sahabat Radhiallahu’anhum. Wallahu a’lam

Diriwayatkan dari Nabi SAW beliau bersabda: “Siapa yang mati sedang ia tak pernah ada bai’at pada dirinya, sungguh ia mati seperti kematian orang jahiliyyah”. Berdasarkan hal ini, sebagian ulama menunjukkan dengan katanya: barangsiapa berpegang teguh pada pendapatnya saja dan merasa cukup pengetahuan yang ada padanya, maka ia terjerumus godaan syetan. Oleh karena itu pahamilah dan renungkanlah baik-baik.

Apabila telah memperoleh Syaikh seperti yang telah disifatkan di atas serahkanlah urusanmu kepadanya, sambil berada di antara kedua belah tangannya, guna memilih cara suluk, laksana seperti mayat yang berada di hadapan orang yang memandikan mayat itu, ia boleh membolak-balikkan menurut kehendaknya.

Sekali-sekali saya peringatkan dengan hati-hati, peliharalah baik-baik jangan sampai timbul kekhawatiran dan keraguan untuk mengikuti Syaikhmu itu, walaupun engkau melihatnya ia berbuat sesuatu pekerjaan yang bukan mengarah pada taqarrub kepada Allah SWT. Akhirnya, dalam hal ini dikatakan oleh Syaikh Besar dan Imam yang terkenal Muhyiddin ‘Ibnu ‘Arabi Rahimahullahu’anhu: “Andaikata engkau telah menyaksikan Syaikhmu bahwa ia berbuat yang bertentangan dengan hukum syari’at, maka jelas manusia sesudah Nabi-nabi tidak ada yang sunyi dari dosa. Adapun berdosa itu tidak menjadi syarat dan fungsi Syaikh dan tidak pula menjadi syarat bagi orang-orang ‘Arif (makrifat) terhadap Allah Ta’ala”. Telah diriwayatkan bahwa Nabi SAW bersabda:”Barangsiapa mengaku dirinya ma’shum (merasa bebas akan dosa) setelahku bukanlah ia dari umatku”.

Syaikh Zainal Abidin bin Muhammad al Fathani Rhm dalam kitabnya ‘Aqidatun Najin fii Ilmi Ushuliddin mengatakan: “Hendaklah setiap muslim mempelajari akidah yang benar, baik yang berhubungan dengan Allah maupun RasulNya agar jangan terjerumus ke dalam perkara yang menyesatkan, bid’ah dan kekufuran sehingga binasalah segala amal kita, dikarenakan amal ibadah tidak sah melainkan dengan aqidah yang benar. Maka belajarlah aqidah dari orang yang dikenal akan kedalaman ilmunya, orang yang ‘alim yang diakui oleh para ulama tentang kebenaran ilmunya. Juga ilmu yang dipelajari itu diambil dari guru, bukan hanya sekedar membaca kitab-kitab, karena ilmu Thariqat ini tidak boleh diambil melainkan dari guru yang mursyid. Dan juga kitab-kitab yang kita baca itu ditulis oleh orang-orang yang dikenal kedalaman ilmunya sehingga tiada orang yang menyalahkan ilmunya dan kalau di daerah kita tidak ada orang yang dapat mengajarnya, hendaklah kita pergi ke negeri yang lain yang ada ulamanya sekalipun ke tempat yang jauh, misalnya Mekkah dan Madinah atau negeri lainnya. Dalam mencari guru hendaknya kita bertanya kepada para Ulama dan kalau mereka mengatakannya apa yang diajarkannya itu benar maka janganlah kita berubah lagi. Tetapi kalau apa yang kita pelajari itu oleh para Ulama dinyatakan salah, wajiblah kita bertanya kepada ulama yang lain dengan membandingkan pelajaran yang kita terima sekalipun kita terpaksa pergi ke negeri lain. Karena urusan agama itu sangat besar teristimewa yang menyangkut aqidah.

Selanjutnya dikatakan: “Mujahadah di bawah bimbingan syaikh yang ‘Arif (telah Makrifatullah) tentunya lebih baik, dikarenakan orang-orang Shufi mengatakan bahwa ucapan seorang ‘Arif lebih baik dan lebih bermanfaat daripada nasehat 1.000 orang. Karena itu seyogyanya selalu mendampingi syaikh yang ‘Arif terhadap al Quran dan Sunnah, namun selalu diteliti lebih dahulu sebelum mengambil pelajaran itu dari syaikh tadi. Maka kalau bimbingannnya sesuai dengan ajaran al Quran dan Sunnah ambillah dan beradablah dengan Syaikh yang memberi bimbingan. Mudah-mudahan usaha orang yang suci batinnya itu berhasil dan Allah melimpahkan hidayahnya kepada engkau.

Syaikh Akbar Muhyiddin Ibnu ‘Arabi Rhm telah menulis: “Seumur hidupmu, kamu tidak akan dapat menjauhkan diri dari kekuasaan hawa nafsu dan kemungkaran selama keinginan-keinginanmu tidak disalurkan menurut perintah Allah dan Sunnah Nabi SAW. Maka jika kamu bertemu dengan seorang kekasih Allah, tumbuhkanlah rasa hormat dalam hatimu, layanilah dia dengan baik dan ikutilah ajaran-ajarannya, jadilah kamu seperti mayat di hadapannya, hendaklah kamu tidak memiliki keinginan apa-apa di hatimu, jika mereka memerintahmu cepat-cepatlah laksanakan, jika ada yang menghalanginya cepat-cepatlah singkirkan, jika diperintah duduk maka duduklah, apa-apa perintahnya anggaplah sebagai tugas kita, bermusyawarahlah dengannya mengenai segala masalah agama dan ruhani, agar dia dapat membimbingmu dan membawamu lebih dekat kepada Allah SWT …” . Oleh karena itu, berusahalah mencari kekasih-kekasih Allah[7].

Dan lagi berkata Syaikh Abu Ali ad Daqqaq Rhm: “Jika bahwasanya ada seseorang mengaku diwahyukan pengetahuan-pengetahuan yang datang kepadanya, sedang ia tiada memiliki Guru (yang membimbing), maka tiadalah datang datang daripadanya itu sesuatu rahasiapun (dari rahasia-rahasia Allah Ta’ala)”.[8]

Syaikh Musthafa al Bakri Rhm. berkata:

“Barang siapa menjalani Thariqat, yakni berdalil tanpa seorang Guru Mursyid yang menunjukkan akan dia, niscaya ia menjadi bingung dan sesat serta termasuk orang-orang yang celaka (binasa)”.[9]

Seorang Guru Mursyid apalagi yang disebut sebagai Khalifah zamannya yang disinggung dalam Surat Al Kahfi ayat 17 wajib dicari oleh setiap pribadi yang mukmin, karena Ulama yang dikatakan Pewaris Nabi bagi suatu kaum adalah bagaikan seorang Nabi di tengah umatnya, yang membimbing dan menuntut arah ibadah dan makrifatnya kepada Allah Ta’ala. Tidak semua orang bisa dijumpai dan ditunjuki oleh Allah Al Haadi kepada Khalifah pilihan pada masanya, karena bukanlah sembarang orang boleh mengaku-ngaku, melainkan harus mempunyai beberapa kriteria, antara lain :

1. Diangkat secara ruhaniyah, yaitu menerima istikhlaf dari Rasulullah SAW. Minimal melalui penunjukkan Guru Mursyid Sulthan Awliya sebelumnya atas petunjuk dari Rasulullah SAW.

2. Secara lahiriyyah memiliki hubungan keturunan (nasab) dari Rasulullah SAW.

3. Bersifat Murobbi Ruh, mempunyai hubungan kontak batin kepada muridnya, sehingga mampu membimbing ruhani dan jasmani muridnya kapanpun dan di manapun mereka berada.

4. Melaksanakan/mencontohkan tuntunan ajaran Allah dan RasulNya secara zhahir maupun batin.

Hampir setiap Thariqat mempunyai Syekh Mursyid yang dianggap memiliki ciri dan persyaratan sebagai seorang pembimbing (Mursyid). Prinsip ajarannya memiliki banyak kesamaan, yang masing-masing punya perangkat metode yang khas dalam menempa penganutnya menuju kepada tujuan. Yang membedakan hanyalah masalah istikhlaf (diangkat) atau tidaknya oleh Rasulullah SAW, sebagai bukti keabsahan pewaris Nabi (Waratsatul Anbiya’

Tidak ada komentar:

Posting Komentar