Minggu, 17 April 2011

MAKALAH ULUMUL HADIS

I. PENDAHULUAN

Sebagai mana telah kita ketahui bahwa sumber hukum pokok islam adalah al qur’an dan as-sunah (al hadits). Al qur’an sebagai wahyu ilahi merupakan sumber utama yang tidak boleh dipertentangkan dan diragukan kebenarannya. Karena meragukan kandungan alqur’an berakibat pada konsekwensi hukum kufur pada orang yang meragukannya. Sementara as-sunnah (al hadits) masih dimungkinkan adanya silang pendapat diantara ahli hukum dan muhaditsin tentang kevalidan dan keotentikannya. Hal ini dimungkinkan terjadi dan telah terjadi sejak zaman para sahabat hingga masa periode ijtihad.
Timbulnya perpecahan di antara umat islam pada masa pemerintahan khalifah Usman bin Affan dan berlanjut pada pemerintahan Muawiyah adalah salah satu benih-benih perbedaan pemahaman dalam menginterprestasi ayat-ayat alqur’an dan as-sunnah. Perbedaan juga timbul dalam menentukan hukum islam. Lebih-lebih sejak sepeninggal nabi Muhammad saw. Munculnya suatu kasus yang sama akan muncul hukum yang berbeda pada tempat lain. Sehingga para ulama memberi simpulan dengan hukum yang sesuai sunnah nabi dan yang tidak sesuai, atau hal yang dibuat-buat (bid’ah).








II. PERMASALAHAN
Dalam makalah ini kami akan sampakaikan beberapa masalah:
1. Apakah pengertian sunnah yang menjadi sumber kedua dalam hukum Islam.
2. Apakah pengertian bid’ah yang menjadi oposisi dalam pembahasan sunah.
3. Bagaimanakah memposisikan sunnah dalam kaitannya dengan urf (adat ).

















III. PEMBAHASAN
A. Pengertian sunnah.
Secara etimologis kata sunah ( bentuk pluralnya , sunan) dalam kamus Al Munawir Indonesia-Arab mengandung arti peri kehidupan, perilaku, jalan , atau metode. Musahadi Ham dalam Evolusi Konsep Sunah memberikan pengertian bahwa sunnah itu bersifat netral. Artinya ia dapat menunjuk kepada tradisi yang baik, terpuji maupun tercela. Arti tersebut bisa ditemukan dalam sabda nabi Muhammad saw. :
مَنْ سَنَّ فِي الاِسلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهُ وَاَجْرُمَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعدِهِ.
Artinya: “ Barang siapa yang membiasakan sesuatu yang baik didalam islam, maka ia menerima pahalanya dan pahala olrang-olrang sesudahnya yang mengamalkannya.”
Sedangkan secara terminologis, pengertian sunnah digunakan sebagai istilah teknis dalam beberapa disiplin ilmu keislaman. Sehingga pengertian sunnah bisa dilihat dari tiga disiplin ilmu:
1) Ilmu Hadits, para ahli hadits mengidentikkan sunah dengan hadits, yaitu segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw. ,baik perkataan, perbuatan, Maupun ketetapannya.
2) Ilmu Ushul Fiqh, menurut ulama’ ahli ushul Fiqh, sunah adalah segala yang diriwayatkan dari nabi Muhammad saw., berupa perbuatan, perkataan, dan ketetapan yang berkaitan dengan hukum.
3) Ilmu Fiqh, pengertian sunnah menurut para ahli fiqih hampir sama dengan pengertian yang dikemukakan oleh para ahli Ushul Fiqih. Akan tetapi, istilah sunnah dalam fiqih juga dimaksudkan sebagai salah satu hukum taklifi, yang berarti suatu perbuatan yang akan mendapatkan pahala bila dikerjakan dan tidak berdosa apabila ditinggalkan.
Perbedaan definisi dikalangan ulama tersebut karena perbedaan dalam sudut pandang mereka dalam memahami kedudukan Rasulullah.

B. Pengertian bid’ah.
Bid’ah menurut bahasa adalah segala sesuatu yang diada-adakan. Dalam kamus al Munawir disebutkan bahwa kata bid’ah berasal dari madhi bada’a yang artinya mencipta sesuatu yang belum pernah ada, sedang pelakunya disebut mubtadi’. TM. Hasbi Ashshiddiqy dalam bukunya Sunnah dan Bid’ah menjelaskan bahwa pengertian bid’an secara istilah (terminology) terdapat beberapa perbedaan pendapat. Pendapat pertama mengatakan bahwa bid’ah ialah segala apa yang diada-adakan, yang tercela, karena menyalahi kitabullah dan sunatur Rasul atau ijma’, atau pekerjaan yang tidak diizinkan syara’; baik dengan sabda Rasul, dengan perbuatan, dengan terus terang, ataupun isyarat.
Bid’ah menurut makna dan golongan ini , meliputi segala pekerjaan yang dicela syara’ saja dan dicegahnya. Pendapat lain mengatakan bahwa bid’ah ialah segala yang diada-dakan sesudah wafat Nabi, baik yang diada-adakan itu kebajikan, atau kejahatan, baik urusan ibadat maupun urusan adat, seperti pakaian, tempat dan makanan.
Sementara Imam As-Syafi’i, sebagaimana yang di jelaskan oleh Ibnu Hajar Al Asqalani dalam Fathul Bari membagi bid’ah menjadi dua. Pertama bid’ah yang menyalahi kitab atau sunnah, atau atsar, atau ijma’, bid’ah ini adalah sesat. Kedua bidah yang diadakan tetapi tidak menyalahi sesuatu dari yang disebut diatas, bid’ah semacam ini adalah tidak tercela (mahmudah).
Sementara al Misri membagi bid’ah menjadi tiga bagian;
1) Bid’ah yang tidak menyebabkan pengkafiran terhadap pelakunya.
2) Bid’ah yang didalamnya masih terdapat perselisihan di kalangan para ulama, soal benar atau tidaknya pengkafiran terhadap pelakunya.
3) Bid’ah yang para pelakunya dikafirkan berdasarkan kesepakatan ulama, misalnya bid’ah yang dilakukan aliran Jahmiyah murni.

C. Kontradiksi antara sunnah dengan bid’ah
Secara teknis bahwa sunnah biasa digunakan sebagai oposisi atau anti tesis terhadap istilah bid’ah. Hal ini berdasarkan sabda nabi yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah:
... مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ ( رواه البخاري )
Artinya: “ …barang siapamengada-adakan dalam agamaku ini sesuatu yang tidak ada dari padanya, maka tertolak” (HR. al Bukhari )
Dalam hadits lain disebutkan:
... مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ اَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ ( رواه البخاري )
Artinya : “… Barang siapa mengerjakan perbuatan yang tidak didasarkan pada praktek (amr) ku, maka ia tertolak.” (HR. Al Bukhari )
Oleh karena itu dikatakan bahwa seseorang adalah pengikut sunnah (Ahlus sunnah), jika ia melakukan praktek-praktek keagamaan yang sesuai dengan apa yang dilakukanoleh nabi. Dan seseorang dikatakan ahli bid’ah jika praktek-praktek keagamaannya bertentangan dengan apa yang dilakukan Nabi Muhammad saw atau mengada-adakan sesuatu yang tidak ada contohnya dari Nabi.
Pada tahapan aplikatifnya ternyata banyak menimbulkan kontroversi dalam memahami istilah bid’ah sebagaimana pengertian di atas. Mengapa demikian? Apakah misal Imam Syafi’i salah dalam memberikan takrif tentang bid’ah sehingga muncul khilafiyah yang berkepanjangan dan tak berujung sampai sekarang. Suatu misal, pelaksanaan selamatan untuk orang yang sudah meninggal dunia, yang akrab dilaksnakan oleh warga NU biasanya dicap sebagai bid’ah oleh sekelompok orang yang mengobarkan bendera ijtihad dan kembali ke qur’an dan hadits. Sementara bagi mereka yang mengamalkan selamatan, beranggapan hal itu bukan hal yang diada-adakan, karena secara umum amalan itu merupakan sedekah dan zikir dan bacaan alqur’an. Dan ini dianggap hasanah, bukan dhalalah.


IV. KESIMPULAN
Islam adalah agama yang lahir di Makah dan berkembang dan tersebar diseluruh dunia. Sebelum islam masuk disuatu daerah dan Negara tertentu, disitu sudah ada budaya yang berkembang secara turun temurun. Budaya ini sama dengan adat atau urf. Meskipun secara zahir adat bertentangan dengan syara’ maka kita tidak boleh cepat-cepat memvonis bid’ah atau bahkan kufur. Karena urf itu sendiri bisa menjadi dasar penentu hukum.
Dalam makalah ini dapat kami simpulkan bahwa sunnah adalah perbuatan, atau perilaku nabi yang harus kita teladani dan kita laksanakan meskipun hal itu berat. Sedangkan bid’ah adalah lawan dari sunnah , yang berarti suatu yang tidak dilakukan oleh nabi Muhammad saw dan diada-adakan setelah nabi Muhammad meninggal dunia. Akan tetapi bidah tidaklah dipandang sebagai sesat belaka. Ada bid’ah yang hasanah atau bahkan wajibah, seperti membukukan hadits dan menulis al qur’an.







V. PENUTUP


Demikianlah makalah kami, sebelumnya kami ucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penulisan makalah ini. Tak lupa kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan demi kesempurnaan makalah-makalah berikutnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar