Minggu, 17 April 2011

TASAWUF MODERN

TASAWUF MODERN

Selama ini, kebanyakan kita memahami tasawuf hanya sebagai sarana pendekatan diri manusia kepada Allah SWT melalui taubat, zikir, iklhas, zuhud, dll. Tasawuf lebih dicari orang dan ditujukan untuk sekedar mencari ketenangan, ketentraman dan kebahagian sejati manusia, di tengah pergulatan kehidupan duniawi yang tak tentu arah ini.Tasawuf menjadi sangat penting, karena bisa menjadi fundasi dasar bagi setiap upaya amal untuk meraih kebahagiaan dunia dan akhirat, bagi setiap pencari kebenaran dan kesempurnaan diri dan kehidupannya.
Tasawuf sebagai salah satu pilar utama dalam Islam, harus dapat menyesuaikan di dunia modern ini karena kebanyakan manusia didominasi oleh hegemoni paradigma ilmu pengetahuan positivistic-empirisme dan budaya Barat yang materialistik-sekularistik.

Dominasi ilmu pengetahuan dan budaya Barat materialisme-sekularisme ini terbukti pada akhirnya lebih bersifat destruktif ketimbang konstruktif bagi kemanusiaan – sebagaimana juga sudah sering dikritisi oleh beberapa sarjana Barat sendiri akhir-akhir ini (misalnya Anthony Giddens & Fritjof Capra). Tentu para cendikiawan Muslim lebih banyak yang mengkritisi paradigma budaya Barat.

Bila hal tersebut dibenturkan dengan agama,akan ditemukan masalah yang akut.Filsafat pengetahuan Barat hanya menganggap absah (valid) ilmu pengetahuan yang semata-mata bersifat induktif-empiris, rational-deduktif dan pragmatis, serta menafikan atau menolak ilmu pengetahuan non-empiris & non-positivisme, yaitu ilmu pengetahuan yang bersumber dari wahyu ketuhanan (divine knowledge dan, atau Kitab Suci Allah SWT).

Paradigma materialistic-mekanistik yang berdasarkan metode Cartesian dan Newtonian (hipotesis deduktif-eksperimental-induktif) telah menyebabkan reduksi atas kenyataan hanya menjadi sekedar fakta-fakta materialisme-reduksionistik. Paradigma ini menyebar dan mempengaruhi berbagai cabang disiplin ilmu-ilmu lainnya, sehingga kehidupan, bahkan kesadaran manusia, direduksi hanya menjadi gerak-gerak material belaka. Misalnya, Adam Smith dalam bidang ekonomi berbicara tentang prinsip ‘mekanisme pasar’; Charles Darwin dalam Biologi berbicara tentang ‘mekanisme evolusi’, dan Sigmund Freud dalam psikologi berbicara tentang ‘mekanisme pertahanan diri/psikis’. Paradigma mekanistik-materialistik telah mendepak Tuhan dari wacana keilmuan dan mempromosikan sekularisme.

Armahedi Mahzar mengatakan bahwa, paradigma Cartesian-Newtonian tersebut, walaupun telah sukses meningkatkan kesejahteraan material umat manusia, namun akhirnya menggiring umat manusia ke dalam kubangan krisis multidimensional dalam kehidupannya, seperti penghancuran masal oleh militer akibat penggunaan senjata nuklir, kimia, biologi militer; kerusakan lingkungan hidup oleh polusi, degradasi, exploitation-depletion (eksploitasi sampai habis menipisnya Sumber Daya Alam); fragmentasi sosial yang disebabkan oleh industrialisasi, urbanisasi, fragmentasi & konflik sosial akut, keterasingan psikologis manusia dari hal yang alami, sosial dan tehnikal.

Di sinilah pentingnya tasafuwwuf modern, di mana konsep kebenaran ilmu pengetahuan tidak hanya berdasarkan 3 prinsip: korespondensi, koherensi dan pragmatisme saja, tapi juga yang bersifat spiritual-ilahiyah. Artinya sumber ilmu pengetahuan, selain mungkin didapat melalui akal rasional, dan empiris inderawi (observasi) juga niscaya didapatkan dan diperkuat melalui petunjuk wahyu (kitab suci), pelajaran sejarah, latihan-latihan ruhani, penyaksian dan penyingkapan ruhaniyah. Seperti kata Jalaludin Rumi, seorang sufi agung, kaki rasionalisme semata adalah kaki kayu yang rapuh untuk meraih ilmu pengetahuan dan kebenaran.

Pengertian Tasawwuf (‘Irfan )

Istilah Tashawwuf (Sufisme), berasal dari kata shuf (wol, bulu domba) yang berarti memakai pakaian dari wol yang kasar, sebagai simbol kehidupan yang keras (zuhud/ascetics) yang menjauh dari kenikmatan duniawi. Jadi istilah tasawuf hanyalah symbol metaforis untuk sebuah konsep asketisme (kepertapaan atau kerahiban) dan gnosis (irfan).

Konsep tasawuf mempunyai padanan istilah lain yang maknanya sama yaitu ‘Irfan (gnosis). Istilah Irfan – sebagaimana istilah ma’rifah yang berasal dari akar kata yang sama dalam bahasa Arab – secara literal berarti ilmu pengetahuan. Makna khususnya adalah ilmu pengetahuan tertentu yang diperoleh tidak melalui indera maupun pengalaman (positivisme-empirisme & eksperimentasi), tidak pula melalui rasio atau cerita orang lain, melainkan melalui penyaksian ruhani dan penyingkapan batiniah. Kemudian fakta tersebut digeneralisasikan menjadi suatu proposisi yang bisa menjelaskan makna penyaksian dan penyingkapan tersebut antara lain melalui argumentasi rasional (misalnya dalam filsafat iluminasi (Isyraqiyah). Inilah yang disebut dengan Irfan (teoritis). Dan karena penyaksian dan penyingkapan tersebut dicapai melalui latihan-latihan ruhaniyah (riyadah) khusus dan perilaku perjalanan spiritual tertentu (syair wa suluk) maka yang terakhir ini disebut Irfan ‘Amali (praktik Sufisme/Tashawwuf)..

Sufisme/tashawuf lebih tepat digunakan untuk penyebutan irfan praktis (amali) sedangkan istilah ‘Irfan adalah untuk Irfan teoritis.

Dalam pandangan tasawuf (Irfan) , ilmu adalah salah satu nama Allah (Asma al-Husna), Menurut Nabi SAW, Ilmu adalah cahaya (nur) Alllah. Cahaya Ilahi tersebut hanya akan dapat diserap dan dipantulkan dengan sebaik-baiknya, bila ‘lensa’ dan ‘cermin’ akal & qolbu manusia yang mencari dan menerimanya cukup bening, bersih (suci) dari kotoran-kotoran dan penyakit hati. Dalam al-Qur’an ada sebuah ayat yang bercerita bahwa bila manusia hamba-hamba Tuhan sudah bertaqwa kepada-Nya, maka Dia (Tuhan) akan menjadi tangannya ketika dia (hamba-Nya) bekerja, akan menjadi matanya ketika dia melihat, dan menjadi telinganya ketika dia mendengar (QS. : ). Inilah ayat yang menjadi landasan apa yang disebut dengan ilmu huduri (presensial knowledge) atau ilmu yang dihadirkan secara langsung oleh Tuhan kepada qalbu (hati & akal) manusia tanpa perantaraan konsep ataupun proposisi-prosisi inderawi. Ilmu huduri adalah sejenis ilmu yang dicerap melalui intuisi dan kebeningan hati dan kejernihan akal. Ilmu huduri inilah yang menjadi basis utama yang melengkapi apa yang didapat melalui usaha manusiawi yaitu ilmu raihan (ilmu husuli/aquired knowledge).

Manusia yang mencintai dan dicintai Tuhan akan bersatu, dalam artian manusia tersebut telah menyerap (men-down load) sifat-sifat dan perbuatan Tuhan ke dalam kehidupan pribadinya. Ego pribadinya telah lebur (fana) ke dalam ‘Samudra Ilahiyah’. Yang Ada (Existence) hanyalah Dia Yang Maha Esa, Yang Maha Kuasa. Apa yang tampak dari perilaku dan ucapan serta sikap-sikap hidupnya adalah Tajaliyat al-Ilahi (manifestasi Ketuhanan) atau penampakan sifat-sifat dan kehendak Tuhan. Dia menjadi Khalifatullah fi al-Ardh (wakil/mandataris Tuhan Allah di muka bumi). Inilah yang disebut tentang faham Wahdah al-Wujud menurut Ibn Arabi, atau Al-Salat al-Wujud (Principality of Existence) menurut Mulla Sadra, dalam kitabnya Al-Hikmah al-Muta’aliyah fi Asyfar al Ar’baah al Aqliyah, atau ‘manungaling kawula-Gust’ dalam tradisi Suluk Islam Kejawen (ajaran Syeikh Siti Jenar dan atau Panembahan Panggung, pada masa awal kerajaan Mataram Islam di Jawa ?)

Eksistensi kemanusiaan manusia akan semakin menyempurna bersamaan prosesnya dengan perkembangan dan pertambahan ilmu pengetahuan yang dicerapnya dari Alam semesta dan dari Tuhan Sang Pencipta Alam Semesta. Antara terminology ‘alam’, ilmu, dan al-‘Alim (Tuhan Yang Maha Mengetahui segala sesuatu), adalah satu akar kata, yang berunsur huruf ‘alif, lam dan mim. Alam adalah ibarat laboratorium dan buku mega-super ensiklopedia yang mempertunjukan tanda-tanda kebesaran Tuhan dan keluasan Ilmu-Nya (“Akan Aku tunjukkan kepadamu tanda-tanda (kebesaran kekuasaan)-KU, pada ufuk/horizon semesta dan di dalam dirimu, sehingga jelaslah bagimu bahwa Aku adalah kebenaran/ Al-Haq”, QS. : )

Tasawuf atau Irfan sebagai sarana pensucian jiwa dan akal manusia, adalah salah satu pilar utama yang mendampingi rasionalitas untuk meraih kejernihan ilmu pengetahuan, hakikat kebenaran dan kesempurnaaan-kesejahteraaan hidup manusia. Antara aktifitas Fikir dan Zikir harus berjalan seimbang, sinergis, holistic dan integral dalam kehidupan umat manusia secara umum khususnya untuk kaum Muslim, kalau hendak mewujudkan missi suci Ilahiyah menjadi Rahmatan lil ‘Alamin.

Bid`ah kah Tasawwuf

Manusia, seperti disebutkan Ibn Khaldun, memiliki anggota tubuh/panca indra, akal pikiran, dan hati sanubari. Ketiga potensi ini harus bersih, sehat, dan dapat bekerja sama secara harmonis. Untuk menghasilkan kondisi seperti ini, ada tiga bidang ilmu yang berperan penting.

Pertama, fikih, berperan dalam membersihkan dan menyehatkan panca indra dan anggota tubuh. Karenanya, fikih banyak berurusan dengan dimensi lahiriah manusia.
Kedua, filsafat, berperan dalam menggerakkan menyehatkan akal pikiran. Karenanya filsafat banyak berurusan dengan dimensi metafisik.
Ketiga, tasawuf, berperan dalam membersihkan hati sanubari.
Karenanya tasawuf banya berurusan dengan dimensi batin manusia. Dengan demikian, antara fikih, filsafat, dan tasawuf memiliki korelasi yang cukup dekat, yang tidak mungkin dipisahkan lagi antara satu dengan yang lainnya.

Ketiga potensi tersebut dijelaskan oleh Allah dalam Al Qur’an surat Al Mulk ayat 23.

“Katakanlah: Dialah yang menciptakan kamu dan memberikan kamu pendengaran, penglihatan, dan hati, tetapi sedikit sekali kamu bersyukur.” (QS. Al Mulk 67:23).

Jika dilihat dari sudut pandang manusia sebagai mahluk yang memiliki keterbatasan, tasawuf dapat didefinisikan sebagai upaya mensucikan diri dengan cara menjauhkan pengaruh kehidupan dunia dan memusatkan perhatian hanya kepada Allah swt.

Jika sudut pandang yang digunakan manusia sebgai makhluk yang harus berjuang, tasawuf dapat didefinisikan sebagi upaya memperindah diri dengan akhlak yang bersumber dari ajaran agama dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah swt. Selanjutnya, jika sudut pandang yang digunakan adalah manusia sebagai makhluk yang bertuhan, tasawurf dapat disefinisikan sebagai kesadaran fitrah (ketuhanan) yang dapat mengarahkan jiwa agar tertuju kepada kegiatan-kegiatan yang dapat menghubungakan manusia dengan Tuhan.

Abul Hasan Al Fusyandi, seorang tabi’in yang hidup sezaman dengan Hasab Al Bisri mengatakan, “Pada zaman Rasulullahs saw., tasawuf ada realitasnya, tetapi tidak ada namanya. Dan sekarang, ia hanyalah sekedar nama, tetapi tidak ada realitasnya.”

Pernyataan ulama dari kalangan tabi’in inibisa menjadi acuan bahwa zaman Rasulullah saw. memang tidak dikenal istilah tasawuf, namun ada realitasnya seperti sikap zuhud, qona’ah, taubat, ridha, shabar, dan lain-lain. Nah, sikap-sikap mulia tersebut dirangkum dalam sebuah nama yang sekarang dikenal dengan istilah tasawuf. Jadi, kita tidak perlu mempersoalkan nama, yang penting realitas atau substansinya.

Dalam mengarungi kehidupan, kita harus punya jiwa zuhud, qana’ah, taubat, muraqabatullah, ‘iffah, dan lain-lain. Bila Anda memberi nama untuk sederet istilah itu dengan sebutan Tasawuf, tentu saja boleh dan tidak termasuk bid’ah. Namun, kalau Anda tidak suka dengan istilah Tasawuf dengan alasan istilah tersebut tidak digunakan pada zaman Rasulullah saw., pakai saja istilah lain seperti ilmu zuhud misalnya (istilah yang digunakan Imam Ahmad). Yang pasti, materi yang dibahas dalam ilmu zuhud dan ilmu tasawuf substansinya sama, yang berbeda hanyalah masalah nama. Apalah arti sebuah nama, yang penting substansinya! Jadi, inti dari tasawuf adalah usaha pensucian jiwa dengan amaliah-amaliah yang shaleh yang sesuai dengan sunah Rasulullah saw. Prof. Hamka (alm) menyebutnya dengan istilah Tasawuf Modern. Namun demikian, kita pun perlu membuka mata bahwa memang ada juga ajaran tasawuf yang menyimpang dari sunah Rasulullah saw. Inilah yang disebut dengan tasawuf yang bid’ah. Sementara usaha pensucian hati yan gmengikuti sunah Rasulullah saw. sama sekali tidak bid’ah.

Kesimpulannya, pada zaman Rasulullah saw. tidak ada istilah tasawuf, yang ada adalah realitas atau substansinya seperti zuhud, qana’ah, ridha. ‘iffah, dan lain-lain. Kita dibenarkan untuk mempelajari dan mengamalkan tasawuf yang mengikuti sunah Rasulullah saw. dan haram mempelajari serta mengamalkan tasawuf yang tidak sesuai dengan sunah Rasulullah saw. (tasawuf yang bid’ah). Jadi, kita tidak bisa men-generalisasi bahwa semua tasawuf itu bid’ah. Sungguh bijak bila kita dapat menempatkan segala sesuatu secara proporsional. Wallahu a’lam.

TASAWUF DALAM MENCARI RIZKI

TASAWUF DALAM MENCARI RIZKI

Banyak pendapat atau kesan yang kurang tepat atau keliru tentang bagaimana seharusnya kehidupan para sufi. Hal ini adalah wajar dan beralasan, karena salah satu daripada makam yang harus ditempuh oleh calon sufi adalah makam zuhud.

Ada dua pendapat tentang pengertian zuhud ini. Pendapat pertama, zuhud berarti berpaling dan meninggalkan sesuatu yang disayangi yang bersifat material atau kemewahan duniawi dengan mengharap dan menginginkan sesuatu wujud yang lebih baik dan bersifat spiritual atau kebahagiaan akhirati. Pengertian pertama ini akhirnya berkembang ekstrim sehingga zuhud berarti benci dan meninggalkan sama sekali segala sesuatu yang bersifat duniawiyah.



Pendapat kedua, zuhud tidak berarti semata-mata tidak mau memiliki harta dan tidak suka mengenyam nikmat duniawi. Tetapi zuhud sebenarnya adalah kondisi mental yang tidak mau terpengaruh oleh harta dan kesenangan duniawi dalam pengabdian diri kepada Allah SWT.

Menanggapi pengertian ini penulis lebih condong kepada pengertian kedua. Alasan penulis selain Al Qur'an dan Al Hadis yang tidak menyuruh kita kearah pengertian zuhud yang ekstrim pertama, juga kehidupan para sahabat zaman Rasulullah dan kehidupan sahabat semasa Khulafaur rasyidin. Sahabat-sahabat utama Rasulullah seperti Abu As Siddiq, Usman bin Affan dan Abdul Rahman bin 'Auf adalah orang-orang yang kaya. Walaupun mereka orang kaya, mereka tetap hidup sebagai orang zuhud, yaitu hidup sederhana, di mana kekayaan mereka itu tidak akan mengurangi apalagi memalingkan pengabdian diri mereka kepada Allah SWT.
Pengertian zuhud yang kedua ini sesuai dengan firman Allah SWT,

Artinya : (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri (Q.S. Al Hadid 57 : 23).

Firman Allah SWT,
Artinya : Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) kampung akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik padamu (Q.S. Al Qashash 28 : 77).

Pengertian kedua ayat ini adalah bahwa kita manusia tidak dapat memisahkan diri kita sama sekali dari harta dan segala bentuk kesenangan duniawi yang diridlai Allah, sebab kita masih hidup di alam dunia. Pengertian lainnya adalah bahwa harta benda tidak dilarang untuk dimiliki, tetapi harta benda tersebut tidak boleh mempengaruhi atau memperbudak seseorang, sehingga menghalangi yang bersangkutan untuk menghampirkan dirinya kepada Allah SWT, atau dengan kata lain, sikap orang sufi tidak boleh diperbudak oleh harta duniawi, tetapi harta duniawi itu dijadikan persembahan, pengabdian ubudiyah lebih banyak lagi kepada Allah SWT.

Timbul pertanyaan, "Apa sebab terjadinya pengertian dan sikap zuhud ini ?". Kajian dan gerakan zuhud ini muncul di kalangan pengamal tasawuf pada akhir Abad Pertama hijriah. Gerakan ini muncul sebagai reaksi terhadap pola hidup mewah para khalifah dan keluarganya serta pembesar negara, yang merupakan dampak dari kekayaan yang diperoleh kaum muslimin dalam pembebasan, penaklukan negeri-negeri Suriah, Mesir, Mesopotamia dan Persia.
Semasa Dinasti Umayyah pola hidup sederhana berubah menjadi pola hidup mewah di kalangan para khalifah dan pembesar-pembesar negara dan timbulnya jurang pemisah antara rakyat dan penguasa. Pola hidup mewah dan kondisi mental yang demikian ini tidak sesuai dengan pola ajaran dan amal agama seperti dicontohkan oleh Rasulullah dan para sahabatnya. Demikian pula pola hidup zuhud yang ekstrim seperti pengertian pertama adalah tidak selaras dengan arahan Al Qur'an dan Al Hadis.

Pola ajaran dan amal tasawuf harus sesuai dengan Al Qur'an dan Al Hadis, atau dengan kata lain yang bertentangan dengan itu bukanlah pola ajaran dan amal tasawuf. Di dalam Al Qur'an maupun Al Hadis kita disuruh bertebaran di muka bumi ini untuk mencari rezeki sebagai karunia Allah.
Firman Allah SWT,

Artinya : Maka bertebaranlah kamu dan carilah rezeki sebagai karunia Allah (Q.S. Al Jumu'ah 62 : 10).
Firman Allah SWT,

Artinya : Dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari rezeki sebagian dari karunia Allah (Q.S. Al Muzammil 73 : 20)
Firman Allah SWT,

Artinya : Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezeki dari perniagaan) dari Tuhanmu (Q.S. Al Baqarah 2 : 198).

Yang prinsip adalah usaha-usaha mencari rezeki itu, haruslah dari usaha yang halal dan hasilnya harus disyukuri dengan memanfaatkannya sesuai dengan syariat agama.
Firman Allah SWT,

Artinya : Dan Kami adakan di muka bumi itu sumber penghidupan, tetapi amat sedikitlah kamu yang bersyukur (Q.S. Al A'raf 7 : 10).
Sabda Rasulullah SAW,

Artinya : Pedagang yang jujur pada hari kiamat nanti akan dihimpun bersama orang-orang yang jujur (siddiqin) dan bersama orang-orang yang mati syahid. (H.R. At Tarmizi dan Al Hakim).

Sabda Rasulullah SAW,
Artinya : "Barang siapa mencari dunia dengan halal, menjaga diri dari minta-minta, berusaha untuk keluarganya dan belas kasih kepada tetangganya, maka ia bertemu dengan Allah nanti. Sedangkan wajahnya seperti bulan pada malam purnama." (H.R. Abu Syaikh, Abu Na'im dan Al Baihaqi).

Pada suatu ketika Rasulullah SAW sedang duduk-duduk bersama dengan para sahabatnya, tiba-tiba tampaklah disana seorang yang masih muda, yang mempunyai tubuh kekar dan kuat. Ia pagi-pagi itu telah bekerja dengan penuh semangat. Para sahabat lalu berkata, "Kasihan sekali orang ini, andaikata kemudaan serta kekuatannya itu dipergunakan untuk sabilillah, alangkah baiknya".
Sabda Rasulullah SAW,

Artinya : "Janganlah kamu semua berkata demikian, sebab orang itu kalau keluarnya dari rumah untuk bekerja guna mengusahakan kehidupan anaknya yang masih kecil, maka ia telah berusaha fi sabilillah. Jikalau ia bekerja itu untuk dirinya sendiri agar tidak sampai meminta-minta pada orang lain, itu pun fi sabilillah. Tetapi apabila ia bekerja karena untuk berpamer atau bermegah-megahan, maka itu adalah fi sabilisy syaitan atau mengikuti jalan setan." (H.R. Thabrani).

Allah benci kepada orang yang berpangku tangan dan orang minta-minta.
Sabda Rasulullah SAW,

Artinya : Barang siapa yang membuka pada dirinya pintu meminta-minta, maka Allah membukakan atasnya 70 (tujuh puluh) pintu kefakiran (H.R. Tarmizi).

Diriwayatkan bahwa Isa a.s. melihat seorang laki-laki, maka beliau bersabda, "Apakah yang kamu kerjakan ?". Ia menjawab, "Saya beribadat". Isa bersabda, "Siapakah yang menanggungmu ?". Ia menjawab, "Saudaraku". Isa bersabda,"Saudaramu lebih baik ibadatnya daripada kamu".

Ibnu Mas'ud r.a. berkata, " Sesungguhnya saya benci untuk melihat seorang laki-laki itu menganggur, tidak bekerja pada urusan dunianya dan tidak pula bekerja dalam urusan akhiratnya”.

Demikianlah sebagian dari dalil-dalil Al Qur'an dan Al Hadis maupun Atsar, mengingatkan supaya kita berusaha mencari rezeki sebagai karunia Allah dan mensyukurinya.

Para sufi itu pada umumnya bekerja sendiri untuk mencari nafkahnya dalam segala bidang usaha, sehingga ada di antara mereka itu diberikan julukan-julukan sesuai dengan bidang usahanya itu. Seperti Al Qashar (Tukang Penatu), Al Waraaq (Tukang Kertas), Al Kharraaz (Penjahit Kulit Hewan), Al Bazzaaz (Pengrajin Tikar dari Daun Kurma), Al Hallaaj (Pembersih Kulit Kapas), Az Zujaaji (Pengrajin Dari Kaca), Al Hasriy (Pengrajin Tikar), As Shairafi (Penukar Uang), Al Muqry (Pembaca) dan Al Farraa' (Penyamak Kulit) dll.
Sebagai manusia biasa, mereka itu ada yang kaya dan ada pula yang miskin. Mereka yang kaya konsekwen mengeluarkan zakat hartanya, dan bagi yang tidak sampai nisabnya mereka berinfaq dan bersadaqah sesuai dengan Q.S. Al Ma'arij 70 : 24 - 25.

Mengenai bagaimana sikap mental sufi yang kaya, dapat kami contohkan tokoh-tokoh sufi berikut ini,

a. Sayyidi Syekh Abul Hasan As Syadzili
As Syadzili adalah salah seorang tokoh sufi kenamaan. Seorang tokoh sufi yang kaya raya yang memiliki sawah ladang yang luas, ternak sapi yang banyak dan juga seorang saudagar.
Bagaimana sikap tokoh ini tentang dunia dengan segala kemegahannya, baik wanita, harta dan tahta tercermin dalam do'a beliau yang terkenal,

Artinya : Ya Allah, lapangkanlah rezekiku di dunia ini, tetapi jangan Engkau jadikan rezeki itu penghalang untuk menuju akhiratku. Ya Allah, jadikanlah duniaku ini (harta dan lain-lain) di tangan- tangan kami dan janganlah Engkau masukkan ke dalam hati sanubari kami ini.

Dari do'a ini tergambar sikap kaum sufi terhadap dunia dengan segala kemegahannya itu. Yaitu kaum sufi tidak tunduk kepada dunia dan kaum sufi tidak sudi diperbudak oleh dunia, tetapi menjadikan dunia itu sebagai sarana untuk menuju dan memperoleh akhirat yang lebih sempurna, sesuai dengan surat Al Hadid 57 : 23 dan surat Al Qashash 28 : 77.

b. Ibnu 'Athaillah As Sakandary
As Sakandary berkisah bagaimana seorang sufi yang kaya raya mempraktekkan ajaran Al Qur'anul Karim. Walaupun hartanya berlimpah-limpah tetapi tidak menghalanginya dalam beramal sebagai seorang sufi. As Sakandary berkisah kepada muridnya tentang seorang kawannya di Maroko, yaitu seorang sufi yang hidupnya zuhud terhadap duniawi dan bersungguh-sungguh dalam ibadatnya. Sumber hidupnya hanya apa yang diperolehnya dari memancing. Sebagian dari hasil itu dimakan dan sisanya disedekahkan.

Pada suatu hari ada murid As Sakandary akan pergi ke Maroko dan dia berpesan kepada muridnya yang juga sufi itu. Kalau kamu sampai di suatu desa di Maroko di mana kawanku bertempat tinggal, mintalah do'a kepadanya, sebab dia adalah seorang wali. Setelah sampai di desa tersebut, murid As Sakandary ini menemui rumah kawan gurunya tersebut. Rumah itu adalah rumah besar dan mewah seperti layaknya rumah raja-raja, yang tidak layak sebagai rumah seorang sufi. Waktu ditanya ternyata benar bahwa itu adalah rumah kawan gurunya yang dicari. Ketika itu sang sufi sedang bepergian dan ketika pulang ternyata dia menunggang kuda dengan pakaian kendaraan yang serba mewah, seolah-olah dia adalah seorang raja.
Melihat keadaan ini hampir saja murid As Sakandary ini pulang dan membatalkan niatnya untuk bertemu dengan guru sufi itu, namun terpikir olehnya tidak baik melanggar perintah guru. Lalu dia menemui juga guru sufi tersebut. Ketika diijinkan masuk, dia pun makin heran, setelah melihat banyaknya pelayan yang berpakaian serba mewah, dengan isi rumah yang serba lux dan dimulailah pembicaraan antara keduanya. "Saudaramu si Fulan berkirim salam kepadamu". "Apakah kau dari sana?" tanyanya padaku. "Iya", jawabku. Lalu dia berkata, "Jika kamu kembali kepada saudaraku itu katakan kepadanya", Sampai kapankah kesibukanmu kepada dunia itu berakhir". Keherananku semakin bertambah setelah mendengar pesan orang itu. Ketika aku bertemu dengan guruku, beliau bertanya, "Adakah kamu berjumpa dengan saudaraku ?". "Iya", jawabku. "Adakah suatu pesan untukku ?" tanyanya. "Tidak", sahutku. Lalu beliau berkata, "Aku yakin pasti ada sesuatu pesan untukku". Maka aku ceritakan apa yang aku lihat dan apa yang dipesankan buat beliau. Mendengar ceritaku, guruku lalu menangis.Setelah agak lama,beliau berkata,
Artinya : Sungguh benar ucapan saudaraku itu, memang Allah telah membersihkan hatinya dari duniawi dan duniawi hanya dijadikan di tangannya dan lahirnya saja, sedangkan aku mengambil dunia itu dari tanganku dan aku selalu memikirkannya.

c. Imam Syamsuddin Ad Dirawaty Dimyati
Syekh Syamsuddin adalah seorang tokoh sufi yang saleh, wara' dan zuhud, pejuang, selalu berpuasa, selalu bershalat, gemar menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran. Pada majelis taklimnya banyak dikunjungi pembesar-pembesar negara dan kepala-kepala suku, sehingga beliau terkenal di negara Mesir. Beliau tinggal di Masjid Jamik Al Azhar dimasa pemerintahan Qanshu Al Ghuury. Pada suatu ketika beliau mengkritik Sultan Al Ghuury di depan umum, karena tidak mau berjihad dengan alasan tidak ada kapal. Pada waktu beliau dipanggil oleh Sultan berkenaan dengan kritik tadi, maka Imam Syamsuddin berkata kepada Sultan :
"Sesungguhnya tuan telah melupakan nikmat yang diberikan oleh Allah, bahkan berani berbuat maksiat kepada-Nya. Tidakkah tuan ingat, semasa tuan memeluk agama Nasrani, kemudian tuan tertawan dan dijual sebagai budak belian, untuk kemudian dipindahkan dari tangan yang satu ke tangan yang lainnya, kemudian Allah menganugerahkan kemerdekaan dan Islam kepada tuan. Derajat tuan menjadi terangkat karenanya, hingga menjadi Sultan. Sebentar lagi, mungkin tuan akan mati, dikafankan, digalikan liang lahat untuk mengubur tuan. Kemudian kubur yang amat gelap akan tuan huni, dan tuan akan dibangkitkan dalam keadaan telanjang, haus, lapar dan akan dihadapkan ke hadirat Allah Yang Maha Adil, yang takkan berbuat kezaliman sedikit pun. Kemudian akan terdengar seruan, 'Barang siapa yang haknya pernah dirampas dan diperkosa oleh Al Ghuury, maka kemarilah !'. Lalu datang berbondong-bondong manusia yang tak terhitung banyaknya".

Nasehat yang diberikan oleh Syekh itu membuat wajah sang Sultan berubah, sampai salah seorang staf dan sekretaris Sultan berkata,"Bacakan Al Fatihah wahai tuan syekh, kami takut kalau sultan akan hilang akalnya". Setelah Syekh itu pergi dan sultan pun sadar, maka sultan pun berkata, "Berikan buat Syekh ini 10.000 (sepuluh ribu) dinar agar dapat digunakan membiayai pembangunan menara benteng di kota Dimyat".
Namun uang itu dikembalikan dan dikatakan oleh beliau, "Aku seorang berharta yang tak butuh bantuan dari siapa pun, kalau tuan perlu uang, akulah yang akan meminjaminya buat tuan". Di Majelis itu tidak seorangpun yang terlihat lebih mulia dari sang syekh dan tidak ada yang lebih rendah dari sang sultan sendiri.

Itulah pribadi Syekh Syamsuddin Ad-Dirawayati yang tergolong ulama yang amat suka beramal. Beliau mengeluarkan biaya 40 000 (empat puluh ribu) dirham untuk pembangunan menara kota Dimyat dari kantongnya sendiri, tanpa bantuan dari seorangpun. Beliau juga menyediakan minuman.

Beliau berdagang mentimun dan sayur mayur lainnya, sedikitpun tidak mau mengambil uang jasa dari jabatannya sebagai seorang Ahli Fikih. Beliau melarang keras para muridnya untuk makan harta wakaf dan sedekah, dan dikatakan bahwa harta itu akan mengotori hati mereka. (Dr. Abdul Halim Mahmoud : 32 - 35).

d. Prof. Dr. H. Saidi Syekh Kadirun Yahya
Prof. Dr. H. Kadirun Yahya adalah seorang tokoh sufi kenamaan masa kini. Beliau adalah seorang tokoh sufi moderen, tokoh sufi Tekhnokrat yang meneruskan amalan Tarikat Naqsyabandiyah sebagai Mursyid yang ke-35 (tiga puluh lima). Semenjak diangkat menjadi mursyid tahun 1952, beliau aktif terus menerus memimpin tarikat Naqsyabandiah Al Khalidiyah. Diperkirakan muridnya berjumlah belasan juta orang dengan jumlah ratusan Surau, di dalam negeri dan luar negeri. Beliau menyelenggarakan suluk untuk para pengamal tarikat ini sepuluh kali dalam setahun, yang setiap kali suluk lamanya 10 (sepuluh) hari. Tempat suluk itu tersebar di Indonesia dan luar negeri yang jumlah pesertanya dalam satu periode suluk mencapai ribuan orang. Penyelenggaraan suluk-suluk ini terlaksana dengan baik berkat bimbingan yang seksama dari Syekh Mursyid dan kerjasama antara petugas-petugas dengan beratus-ratus peserta suluk.

Prof. Dr. H. Kadirun Yahya adalah pakar Ilmu An-Nadhori (Ilmu Al Kasbi) dan banyak sekali menerima limpahan rahmat karunia Allah yang berbentuk Ilmu Al-Kasyfi dan Ilmu Ladunni. Beliau adalah sufi teknokrat yang mahir berbahasa Inggris, Belanda dan Jerman. Beliau adalah seorang sufi yang kaya raya yang memiliki usaha di berbagai bidang unit usaha, antara lain :
- Agrobisnis. Beliau memiliki perkebunan yang arealnya mendekati 100 (seratus) ha. Yang meliputi perkebunan kelapa sawit, apel, jeruk, dan lain-lain. Beliau memiliki usaha ternak, mulai dari ternak unggas seperti puyuh, ayam, ikan, itik dan ternak hewan seperti kambing dan sapi.
- Pabrik. Beliau memiliki pabrik air minum yang bermerek Aminsam di Medan dan Jakarta.
- Pertukangan. Beliau mempunyai usaha bidang meubel dan perbengkelan.
- Keterampilan. Beliau mempunyai beberapa usaha keterampilan, seperti konveksi.
- Pertokoan. Beliau memiliki beberapa toko, di antaranya adalah toko elekronik.
- Jasa. Beliau memiliki biro travel yang mempunyai jaringan internasional.
- Pendidikan. Beliau memiliki beberapa lembaga pendidikan di kampus Universitas Panca Budi, yang berdiri di suatu lokasi yang arealnya 6 (enam) ha. Lembaga-lembaga ini menyelenggarakan pendidikan mulai dari TK, SD, SLTP, SLTA sampai dengan Universitas yang bernama Universitas Panca Budi. Lembaga pendidikan ini mempunyai beberapa cabang di daerah Sumatera Utara.

Seluruh usaha itu bernaung di bawah suatu yayasan yang bernama Yayasan Prof.Dr.H.Kadirun Yahya. Bidang usaha yang begitu banyak telah mempekerjakan beberapa puluh kepala keluarga dan ratusan karyawan. Untuk mengelola semuanya itu beliau mengangkat pimpinan-pimpinan unit usaha yang profesional dalam bidangnya.

Selain itu salah satu dari karunia besar yang dilimpahkan Allah kepada beliau adalah bidang pengobatan. Tidak terhitung banyaknya orang yang telah dibantu beliau untuk menyembuhkan penyakit. Mulai dari penyakit yang ringan sampai dengan penyakit yang berat, bahkan penyakit- penyakit yang tidak dapat disembuhkan dengan dokter, dengan ijin Allah dapat sembuh ditangan beliau. Untuk membantu beliau dalam masalah ini, pada beberapa surau atau beberapa tempat tertentu didirikan klinik pengobatan.

Kegiatan lainnya yang beliau lakukan dan cukup menonjol adalah riset di bidang yang sesuai dengan profesi beliau sebagai seorang ilmuwan dan Syekh Mursyid, yang sampai saat ini telah banyak dihasilkan temuan-temuan ilmiah baik dalam ilmu kimia maupun fisika. Di antara temuan-temuan beliau adalah :

- Teknik pembuatan air mineral yang tidak merusak ozon, tetapi dapat menghasilkan ozon, dengan proses yang sangat sederhana,
- Semir Sepatu yang tahan api,
- Pembuatan kulit imitasi.
-dan lain-lain.

Sebagai top manager yang mengelola sekian unit usaha dengan asset kekayaan yang begitu besar, tidak sedikitpun semua usaha dan kegiatan pengobatan ini mengurangi atau mengganggu apalagi melalaikan kegiatan beliau sebagai pemimpin rohani, yaitu Syekh Mursyid tarikat Naqsyabandiah.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa beliau telah melaksanakan maksud dan tujuan hadis yang artinya, "Mukmin yang kuat lebih disukai dan lebih dicintai oleh Allah daripada seorang mukmin yang lemah". Pengertian kuat di sini adalah meliputi segala bidang duniawiyah maupun ukhrawiyah.

Asset unit usaha, kekayaan dan hasil riset yang begitu besar, lebih banyak diperuntukkan untuk ubudiyah, pengabdian, guna mengembangkan dan membina pengamalan tarikat ini. Beliau telah mengatakan bahwa kekayaan yang begitu banyak adalah karunia Allah dan milik Allah. Karena itu beliau hanya berhak mentasarufkan, menyelenggarakan kekayaan itu untuk mendapatkan cinta dan ridla dari Allah SWT. Sebagian dari kekayaan itu diperuntukkan untuk membina dan membangun surau lama dan surau baru. Sesuai dengan ketentuan syariat agama, beliau selalu mengeluarkan zakat, infaq dan sadaqah secara rutin kepada yang berhak menurut asnafnya. Setiap musim haji tidak kurang dari 60 (enam puluh) ekor lembu sebagai kurban, ditambah berpuluh-puluh ekor kambing.

Demikianlah gambaran pribadi tokoh sufi masa kini yang dengan kekayaannya tidak sedikitpun melalaikan ibadatnya kepada Allah, bahkan kekayaan itu memperkuat barisan untuk menegakkan agama Allah atau ( ....................................................).

TABIAT MANUSIA

TABIAT MANUSIA

Sayyidina Ali K.W

1. Orang-orang lemah selalu menjadi lawan bagi orang-orang yang kuat, orang-orang bodoh bagi orang-orang bijak, dan orang-orang jahat bagi orang-orang baik. Inilah tabiat (manusia) yang tidak dapat diubah.
2. Kebiasaan itu kuat.
Maka, barangsiapa yang membiasakan sesuatu pada dirinya secara diam-diam dan dalam kesendiriannya, pasti akan menyingkapkannya secara terang-terangan dan terbuka.
3. Kebiasaan adalah tabiat kedua yang menguasai.
4. Kebiasaan yang buruk adalah persembunyian yang tidak aman.
5. Dan Allah membagi-bagi makhluk-Nya menjadi bangsa-bangsa yang berbeda negeri dan kemampuan, tabiat dan bentuk (penam¬pilan). Dia menciptakan makhluk-makhluk dengan penciptaan yang sempurna dan menciptakannya sesuai dengan kehendak¬Nya.

Ajal Manusia

1. Barangsiapa yang panjang umurnya, maka dia akan melihat pada diri musuh-musuhnya sesuatu yang menyenangkannya.
2. Barangsiapa yang telah genap berusia empat puluh tahun, dikata¬kan kepadanya, “Waspadalah akan datangnya hal yang telah ditak¬dirkan (kematian) karena sesungguhnya engkau tidak dimaafkan.” Dan bukanlah orang yang berumur empat puluh tahun itu lebih berhak mendapatkan peringatan daripada orang yang berumur dua puluh tahun.
Sebab, yang mengejar keduanya sama (satu), dan dia tidak pernah tidur dari yang dikejarnya itu, yaitu kematian. Karena itu, beramallah demi menghadapi situasi yang sangat me¬nakutkan di hadapanmu dan tinggalkanlah perkataan-perkataan yang indah-indah (yang menipu manusia).
3. Barangsiapa yang telah berumur tujuh puluh tahun, dia akan ba¬nyak mengeluh tanpa adanya suatu penyakit.
4. Cukuplah ajal sebagai penjaga.

SERBA EMPAT YANG DIPILIH ALLAH

SERBA EMPAT YG DIPILIH ALLAH

Syeikh Abdul Qadir al-Jilany
Allah swt berfirman: “Dan Tuhanmu menciptakan apa yang dikehendakiNya dan Dia Memilih.”
Allah memilih dari segala sesuatu yang ada, empat hal, lalu dipilihnya salah satu:

1. Allah memilih empat Malaikat, Jibril, Mikail, Israfil dan Izrail, lalu Allah memilih Jibril.
2. Allah memilih empat dari para Nabi -- sholawat salam bagi mereka -- ; Ibrahim, Musa, Isa dan Muhammad. Lalu Allah swt memilih Nabi Muhammad saw.
3. Allah memilih empat dari para sahabat, Abu Bakr, Umar, Utsman, dan Ali -Rodlyallahu anhum -- Lalu Allah swt memilih Abu Bakr ash--Shjiddiq ra.
4. Allah memilih empat dari masjid: Masjidil Haram, Masjidil Aqsha, Masjid Nabawi Madinah yang Musyarrafah dan Masjid Thursina. Lalu Allah swt memilih Masjidil Haram.
5. Allah memilih empat dari hari-hari: Hari Idul Ftri, hari Idul Adha, hari Arafah, dan hari Asyura’. Lalu Allah swt memilih hari ‘Arafah.
6. Allah memilih empat dari malam. Malam Al-Bara’ah, Malam Qadar, Malam Jum’at, dan Malam Ied. Lalu Allah swt memilih Lailatul Qadar.
7. Allah memilih empat dari lembah: lembah Makkah, Lembah Madinah, Lembah Baitul Muqaddas dan sepuluh Masjid. Lalu Allah swt memilih lembah Makkah.
8. Allah memilih empat bukit: Bukit Uhud, Bukit Thur Sina, bukit Lukam, dan bukit Libanon, Lalu Allah swt memilih bukit Thursina.
9. Allah memilih empat Sungai: syngai Jeihon, Sungai Seihunj, Sungai Niil, dan Sungai Eofrat.Lalu Allah swt memilih Sungai Niil.
10. Allah memilih empat dari bulan: Bulan Rajab, Sya’ban, Ramadlan dan Muharram, Lalu Allah swt memilih Sya’ban.

SEORANG SALIK

SEORANG SALIK

Seorang Salik[1], yang baru memasuki jalan (Thariqat), jangan harap hendak berhubungan dengan Allah Ta’ala atau Rasulullah SAW, tanpa ada orang tengah atau perantara, yaitu Syekh Shufi atau Guru Mursyid untuk menunjuki jalan. Seorang Salik hendaklah ada kesediaan diri untuk dibimbing oleh guru yang benar-benar ahli dalam bidang keshufian ini. Antara Syekh Mursyid atau Guru hakiki itu dengan Rasulullah SAW ada suatu hubungan yang teramat dekat, yang tiada mampu dilampaui jasmani, pertalian darah, keturunan, dan sebagainya.

Sekiranya Nabi Muhammad SAW masih hidup, kita dapat mengambil ilmu langsung dari Baginda dan tidak perlu lagi perantara. Tetapi Baginda telah wafat, maka terpisahlah Baginda dengan alam dunia dan seisinya. Oleh karena itu tidaklah dapat manusia berhubung langsung dengan Baginda. Begitu jugalah dengan Syekh-syekh keshufian yang hakiki. Apabila mereka telah kembali ke Rahmatullah, maka tidaklah lagi manusia dapat belajar langsung dari mereka yang telah kembali menemui Tuhannya.

Guru yang masih hidup itu mestilah ada hubungan keruhanian dengan Rasulullah SAW, yaitu orang yang benar-benar mewarisi ilmu dan keadaannya Rasulullah SAW itu. Dalam ajarannya guru itu menerima panduan dari Nabi dan ia hendaklah seorang Mukmin yang hakiki. Sang guru itu adalah alat atau wasilah untuk meneruskan kesinambungan jalan keruhaniannya itu. Selanjutnya adalah rahasia. Hanya orang yang layak memahaminya akan faham atas yang demikian itu.

Allah berfirman dalam Surat Al Kahfi ayat 17:

“Barangsiapa yang dihidayahkan Allah maka ia termasuk orang-orang yang diberi petunjuk. Dan bagi siapa yang Allah sesatkan (jalan)nya, maka sekali-sekali tidaklah akan mendapatkan Wali yang Mursyid.”

Dan dikatakan pula oleh seorang Wali Besar dari negeri Mesir, Syaikh Ibrahim ad-Dasuki Rahimahullah:

“Mencari Guru dalam thariqah sebagai jalan menuju kepada Allah itu wajib bagi setiap murid, meskipun ia merupakan seorang ulama besar.” [2]

Imam al Ghazali Rahimahullahu Ta’ala berkata: “Bermula pendinding antara murid dengan Haq (Allah Ta’ala) ada 4 macam: harta, kedudukan (kebanggaan), taqlid (ikutan/ tradisi), dan maksiat. Adapun hijab (dinding penyekat) harta keduniaan hanyalah dapat dihilangkan dengan melepaskan segala apa yang dimilikinya, sehingga tiada yang tersisa kecuali hanya sekedar mempertahankan hidupnya dan selagi masih ada tersisa kelebihan walaupun satu dirham, niscaya akan memalingkan hatinya dan menghijab hatinya dari Allah ‘Azza wa Jalla. Adapun hijab kebanggaan, bisa dihilangkan dengan menjauhi segala bentuk kedudukan (pangkat)….Adapun rintangan taqlid bisa dihilangkan dengan melenyapkan jiwa ta’asshub (fanatik) terhadap berbagai madzhab (ikutan)nya dan hanya berpegang pada kebenaran. Laa ilaaha illallaah Muhammadur Rasulullah adalah pembenaran Iman yang jernih, dan melenyapkan segala bentuk yang disembah selain Allah Ta’ala…..Adapun hijab maksiat adalah perintang yang hanya bisa dihilangkan dengan bertaubat dan meninggalkan daripada segala kezaliman serta memperteguh niat untuk tidak mengulang berbuat dosa dan menyesali segala dosa yang telah lalu…..Maka apabila telah terpenuhi syarat yang empat ini, telah terbebas daripada jeratan harta, kedudukan, laksana orang yang telah bersuci dan telah mengambil wudhu, dan telah siap untuk melakukan shalat. Maka perlulah seorang Imam untuk memimpin shalatnya sebagaimana seorang murid yang membutuhkan Syaikh atau Guru yang membimbingnya untuk menuntun ke jalan yang benar, lantaran jalan agama itu gelap/ rumit, sedang jalan syetan itu banyak dan terang. Maka siapapun yang tiada punya Guru yang membimbing, niscaya dituntun syetan ke jalan mereka yang sesat…….Maka pengawal keselamatan murid sesudah memenuhi persyaratan tersebut adalah Gurunya, maka harus mempercayakan diri atas Gurunya bulat-bulat laksana si buta yang berserah pada penuntunnya di tepi sungai, yakni pasrah kepada Guru dan tiada menyalahinya bagi tercapainya tempat yang ditujunya. Hendaklah diketahuinya bahwa manfaat kesalahan petunjuk Guru itu seandainya salah, jauh lebih bermanfaat daripada kebenaran usahanya sendiri seandainya ia benar”.[3]

Ketahuilah olehmu, wahai saudaraku yang menghendaki kebahagiaan di dalam dunia dan akhirat, yang menghendaki jauh daripada terpedaya dalam ilmu dan amalnya, mengambil thariqah itu kepada ahlinya. Itulah sebagai jalan para Nabi, Awliya, Muqarabin, orang yang Muttaqin dan jalan orang-orang yang Abrar. Maka barang siapa tiada menjalani jalan ahli Shufi dan tiada berthariqah kepadanya, niscaya ia terpedaya, meskipun ia membaca/ mempelajari 1.000 kitab selainnya, dikarenakan tiada terlepas daripada maksiat, seperti riya’, ‘ujub, takabbur, hubbud dunia dan sebagainya. Hal ini sebagaimana yang dikatakan Al ‘Arif billah Syaikh Abdul Wahhab as Sya’rani Rhm:

“Dan telah dimaklumi bahwasanya setiap orang tiada mendapatkan syaikh yang menunjukinya jalan untuk mengeluarkannya dari sifat-sifat tercela (seperti riya’, ‘ujub, takabbur, hasad, bakhil dan hubbud dunia), maka ia telah bermaksiat (melawan perintah) Allah dan Rasulullah SAW, karena ia tidak bisa mendapatkan petunjuk menuju jalan kebahagiaan/ kemenangan tanpa bimbingan seorang Syaikh meskipun ia telah hafal 1.000 kitab ilmu. Maka carilah seorang Guru wahai saudaraku dan ambillah nasehatku ini. Dan siapa-siapa yang berkata bahwa Thariqah shufi itu tiada memiliki dasar Al Quran dan Sunnah maka ia telah kafir (keluar daripada iman). Dikarenakan seluruh apa-apa yang telah diuraikan dalam akhlak (perangai) Shufi itu semuanya adalah akhlaknya Rasulullah SAW, baik dasar-dasarnya (ketauhidan) maupun aturan-aturannya (Fiqih, Thariqat dan Haqiqat)”.[4]

Demikian pula berkata Syaikh Yusuf Tajul Khalwati al Makassari dalam risalahnya[5]: “Kemudian wajib pula atasmu, jika engkau seorang salik yang bersungguh-sungguh lagi ikhlas dalam tuntutanmu dan dalam sulukmu sesudah menyucikan I’tikad semuanya seperti yang telah disebutkan, maka carilah seorang Syaikh yang shaleh lagi ‘Arif (makrifat) serta tahu memberi akan nasihat yang menunjukkan aib pribadimu dan dikeluarkan kamu dari mengikuti aib itu, dan mengajarimu memusuhinya. Walau sekiranya engkau mengembara ke tempat jauh dari kampung halaman dan keluargamu untuk mencari Syaikh mursyid. Sesungguhnya Syaikh itulah yang dikatakan: siapa yang mencari thariqah tanpa petunjuk dan tanpa ‘Arif (orang yang makrifat), sungguh ia mencari sesuatu yang mustahil. Mengapa tidak, sedang ia adalah pembuka pintu hatimu dan dialah ayah bagi ruhmu. Dia adalah membimbing engkau baik lahir maupun batin kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Hal demikian itu dikatakan, karena siapa yang tidak mempunyai seorang Syaikh, maka syetanlah Syaikhnya[6][6]. Bersabda Nabi SAW bahwa Syaikh yang ada pada zamannya seperti Nabi pada zamannya. Bersabda lagi Nabi SAW: “Ulamanya umatku, laksana Nabi-nabi Bani Israil”, yang dimaksudkan ulama disini adalah mereka yang memiliki ilmu dan yang mengamalkannya, menunjuki orang ke jalan Allah Ta’ala, memberi nasihat agar beribadah kepada Allah, seperti yang telah dikatakan oleh mereka, para sahabat Radhiallahu’anhum. Wallahu a’lam

Diriwayatkan dari Nabi SAW beliau bersabda: “Siapa yang mati sedang ia tak pernah ada bai’at pada dirinya, sungguh ia mati seperti kematian orang jahiliyyah”. Berdasarkan hal ini, sebagian ulama menunjukkan dengan katanya: barangsiapa berpegang teguh pada pendapatnya saja dan merasa cukup pengetahuan yang ada padanya, maka ia terjerumus godaan syetan. Oleh karena itu pahamilah dan renungkanlah baik-baik.

Apabila telah memperoleh Syaikh seperti yang telah disifatkan di atas serahkanlah urusanmu kepadanya, sambil berada di antara kedua belah tangannya, guna memilih cara suluk, laksana seperti mayat yang berada di hadapan orang yang memandikan mayat itu, ia boleh membolak-balikkan menurut kehendaknya.

Sekali-sekali saya peringatkan dengan hati-hati, peliharalah baik-baik jangan sampai timbul kekhawatiran dan keraguan untuk mengikuti Syaikhmu itu, walaupun engkau melihatnya ia berbuat sesuatu pekerjaan yang bukan mengarah pada taqarrub kepada Allah SWT. Akhirnya, dalam hal ini dikatakan oleh Syaikh Besar dan Imam yang terkenal Muhyiddin ‘Ibnu ‘Arabi Rahimahullahu’anhu: “Andaikata engkau telah menyaksikan Syaikhmu bahwa ia berbuat yang bertentangan dengan hukum syari’at, maka jelas manusia sesudah Nabi-nabi tidak ada yang sunyi dari dosa. Adapun berdosa itu tidak menjadi syarat dan fungsi Syaikh dan tidak pula menjadi syarat bagi orang-orang ‘Arif (makrifat) terhadap Allah Ta’ala”. Telah diriwayatkan bahwa Nabi SAW bersabda:”Barangsiapa mengaku dirinya ma’shum (merasa bebas akan dosa) setelahku bukanlah ia dari umatku”.

Syaikh Zainal Abidin bin Muhammad al Fathani Rhm dalam kitabnya ‘Aqidatun Najin fii Ilmi Ushuliddin mengatakan: “Hendaklah setiap muslim mempelajari akidah yang benar, baik yang berhubungan dengan Allah maupun RasulNya agar jangan terjerumus ke dalam perkara yang menyesatkan, bid’ah dan kekufuran sehingga binasalah segala amal kita, dikarenakan amal ibadah tidak sah melainkan dengan aqidah yang benar. Maka belajarlah aqidah dari orang yang dikenal akan kedalaman ilmunya, orang yang ‘alim yang diakui oleh para ulama tentang kebenaran ilmunya. Juga ilmu yang dipelajari itu diambil dari guru, bukan hanya sekedar membaca kitab-kitab, karena ilmu Thariqat ini tidak boleh diambil melainkan dari guru yang mursyid. Dan juga kitab-kitab yang kita baca itu ditulis oleh orang-orang yang dikenal kedalaman ilmunya sehingga tiada orang yang menyalahkan ilmunya dan kalau di daerah kita tidak ada orang yang dapat mengajarnya, hendaklah kita pergi ke negeri yang lain yang ada ulamanya sekalipun ke tempat yang jauh, misalnya Mekkah dan Madinah atau negeri lainnya. Dalam mencari guru hendaknya kita bertanya kepada para Ulama dan kalau mereka mengatakannya apa yang diajarkannya itu benar maka janganlah kita berubah lagi. Tetapi kalau apa yang kita pelajari itu oleh para Ulama dinyatakan salah, wajiblah kita bertanya kepada ulama yang lain dengan membandingkan pelajaran yang kita terima sekalipun kita terpaksa pergi ke negeri lain. Karena urusan agama itu sangat besar teristimewa yang menyangkut aqidah.

Selanjutnya dikatakan: “Mujahadah di bawah bimbingan syaikh yang ‘Arif (telah Makrifatullah) tentunya lebih baik, dikarenakan orang-orang Shufi mengatakan bahwa ucapan seorang ‘Arif lebih baik dan lebih bermanfaat daripada nasehat 1.000 orang. Karena itu seyogyanya selalu mendampingi syaikh yang ‘Arif terhadap al Quran dan Sunnah, namun selalu diteliti lebih dahulu sebelum mengambil pelajaran itu dari syaikh tadi. Maka kalau bimbingannnya sesuai dengan ajaran al Quran dan Sunnah ambillah dan beradablah dengan Syaikh yang memberi bimbingan. Mudah-mudahan usaha orang yang suci batinnya itu berhasil dan Allah melimpahkan hidayahnya kepada engkau.

Syaikh Akbar Muhyiddin Ibnu ‘Arabi Rhm telah menulis: “Seumur hidupmu, kamu tidak akan dapat menjauhkan diri dari kekuasaan hawa nafsu dan kemungkaran selama keinginan-keinginanmu tidak disalurkan menurut perintah Allah dan Sunnah Nabi SAW. Maka jika kamu bertemu dengan seorang kekasih Allah, tumbuhkanlah rasa hormat dalam hatimu, layanilah dia dengan baik dan ikutilah ajaran-ajarannya, jadilah kamu seperti mayat di hadapannya, hendaklah kamu tidak memiliki keinginan apa-apa di hatimu, jika mereka memerintahmu cepat-cepatlah laksanakan, jika ada yang menghalanginya cepat-cepatlah singkirkan, jika diperintah duduk maka duduklah, apa-apa perintahnya anggaplah sebagai tugas kita, bermusyawarahlah dengannya mengenai segala masalah agama dan ruhani, agar dia dapat membimbingmu dan membawamu lebih dekat kepada Allah SWT …” . Oleh karena itu, berusahalah mencari kekasih-kekasih Allah[7].

Dan lagi berkata Syaikh Abu Ali ad Daqqaq Rhm: “Jika bahwasanya ada seseorang mengaku diwahyukan pengetahuan-pengetahuan yang datang kepadanya, sedang ia tiada memiliki Guru (yang membimbing), maka tiadalah datang datang daripadanya itu sesuatu rahasiapun (dari rahasia-rahasia Allah Ta’ala)”.[8]

Syaikh Musthafa al Bakri Rhm. berkata:

“Barang siapa menjalani Thariqat, yakni berdalil tanpa seorang Guru Mursyid yang menunjukkan akan dia, niscaya ia menjadi bingung dan sesat serta termasuk orang-orang yang celaka (binasa)”.[9]

Seorang Guru Mursyid apalagi yang disebut sebagai Khalifah zamannya yang disinggung dalam Surat Al Kahfi ayat 17 wajib dicari oleh setiap pribadi yang mukmin, karena Ulama yang dikatakan Pewaris Nabi bagi suatu kaum adalah bagaikan seorang Nabi di tengah umatnya, yang membimbing dan menuntut arah ibadah dan makrifatnya kepada Allah Ta’ala. Tidak semua orang bisa dijumpai dan ditunjuki oleh Allah Al Haadi kepada Khalifah pilihan pada masanya, karena bukanlah sembarang orang boleh mengaku-ngaku, melainkan harus mempunyai beberapa kriteria, antara lain :

1. Diangkat secara ruhaniyah, yaitu menerima istikhlaf dari Rasulullah SAW. Minimal melalui penunjukkan Guru Mursyid Sulthan Awliya sebelumnya atas petunjuk dari Rasulullah SAW.

2. Secara lahiriyyah memiliki hubungan keturunan (nasab) dari Rasulullah SAW.

3. Bersifat Murobbi Ruh, mempunyai hubungan kontak batin kepada muridnya, sehingga mampu membimbing ruhani dan jasmani muridnya kapanpun dan di manapun mereka berada.

4. Melaksanakan/mencontohkan tuntunan ajaran Allah dan RasulNya secara zhahir maupun batin.

Hampir setiap Thariqat mempunyai Syekh Mursyid yang dianggap memiliki ciri dan persyaratan sebagai seorang pembimbing (Mursyid). Prinsip ajarannya memiliki banyak kesamaan, yang masing-masing punya perangkat metode yang khas dalam menempa penganutnya menuju kepada tujuan. Yang membedakan hanyalah masalah istikhlaf (diangkat) atau tidaknya oleh Rasulullah SAW, sebagai bukti keabsahan pewaris Nabi (Waratsatul Anbiya’

PRINSIP ADAB MEMBANGUN BANGSA

PRINSIP-PRINSIP ADAB MEMBANGUN BANGSA

1. Menjaga kehormatan

* Menjaga Kehormatan Allah.
* Menjaga kehormatan Nabi dan Rasul.
* Menjaga kehormatan para Auliya’ dan Ulama.
* Menjaga kehormatan sesama menurut derajat masing-masing.

2. Memiliki cita-cita yang luhur

* Cita-cita luhur dalam kehidupan dunia dan akhirat, yaitu Allah swt. sebagai cita-cita paling luhur. Sehingga seluruh semangat dan hasrat kebangsaan diliputi nilai-nilai keluhuran moral Ilahiyah.


3. Berbakti yang baik

* Mengikuti jejak para Nabi dan Rasul
* Tidak mengklaim prestasi, karena segala daya dan kekuatan dari pertolongan Allah
* Terbangunnya kebesaran jiwa, karena menghargai Sang Pemberi anugerah dalam setiap gerak dan aktivitas.

4. Melaksanakan prinsip-prinsip utama

* Tidak mudah tergoda oleh aspek penunjang sedang prinsipnya terabaikan.
* Tidak meremehkan hal-hal principal
* Tidak memilih hal-hal gampang dengan melupakan gairah perjuangan dan kerja keras.

5. Mensyukuri nikmat.

* Memandang Yang Maha Memberi nikmat, bukan wujud nikmatnya.
* Senantiasa memandang anugerahNya setiap berbuat kebaikan.
* Rasa syukur ditumbuhkan dari kejernihan iman dan tauhid.

PENGARUH TASAWUF DLM SOSIAL EKONOMI UMAT

PENGARUH TASAWUF DLM SOSIAL EKONOMI UMAT

Kajian Tasawuf (mistik, sufi, olah spiritual) berperan besar dalam menentukan arah dan dinamika kehidupan masyarakat. Kehadirannya meski sering menimbulkan kontroversi, namun kenyataan menunjukkan bahwa tasawuf memiliki pengaruh tersendiri dan layak diperhitungkan dalam upaya menuntaskan problem-problem kehidupan sosial dan ekonomi yang senantiasa berkembang mengikuti gerak dinamikanya, karena tasawuf adalah jantung dari ajaran Islam, tampa tasawuf Islam akan kehilangan ruh ajaran aslinya. Tasawuf akan membimbing seseorang dalam mengarungi kehidupan ini yang memang tidak bisa terlepas dari realitas yang tampak maupun yang tidak tampak, Untuk menjadi seseorang yang bijak dan professional di dalam menjalankan setiap peran dalam mengarungi kehidupan ini, karena selain bisa memahami realitas lahir ia juga mampu memahami realitas batin, sehinga ia mampu untuk berinteraksi dangan alam secara harmonis dan serasi, dan itulah yang diajarkan di dalam agama Islam, keharmonisan dan keserasian dengan alam semesta.

Tasawuf adalah bagian dari Syari’at Islam, yakni perwujudan dari ihsan, salah satu dari tiga kerangka ajaran Islam yang lain, yakni iman dan Islam. Oleh karena itu bagaimanapun, perilaku tasawuf harus tetap berada dalam kerangka Syari’at. Maka al-Junaid mengatakan sebagaimana dinukilkan oleh al-Qusyairi , “Kita tidak boleh tergiur terhadap orang yang diberi kekeramatan, sehingga tahu betul konsistensinya terhadap Syari’at”. Tasawuf sebagai manifestasi dari ihsan tadi, merupakan penghayatan seseorang terhadap agamanya, dan berpotensi besar untuk menawarkan pembebasan spiritual, sehingga ia mengajak manusia mengenal dirinya sendiri, dan akhirnya, mengenal Tuhannya.

Lahirnya tasawuf sebagai fenomena ajaran Islam, diawali dari ketidakpuasan terhadap praktik ajaran Islam yang cenderung formalisme dan legalisme serta banyaknya penyimpangan-penyimpangan atas nama hukum agama. Selain itu, tasawuf juga sebagai gerakan moral (kritik) terhadap ketimpangan sosial, moral, dan ekonomi yang ada di dalam umat Islam, khususnya yang dilakukan kalangan penguasa pada waktu itu. Pada saat demikian tampillah beberapa orang tokoh untuk memberikan solusi dengan ajaran tasawufnya. Solusi tasawuf terhadap formalisme dengan spiritualisasi ritual, merupakan pembenahan dan elaborasi tindakan fisik ke dalam tindakan batin. Faktor internal lainnya ialah terjadinya pertikaian politik intern umat Islam yang menyebabkan perang saudara yang dimulai antara Ali bin Abi Thalib dengan Mu’awiyah bermula dari al-fitnah al-kubra yang menimpa khalifah ketiga, Usman bin Affan maka sebagian tokoh agama mengambil jarak dengan kehidupan politik dan sosial.

Saat ini kita berada di tengah-tengah kehidupan masyarakat modern, atau sering pula disebut sebagai masyarakat yang sekuler. Pada umumnya, hubungan antara anggota masyarakatnya atas dasar prinsip-prinsip materialistik. Mereka merasa bebas dan lepas dari kontrol agama dan pandangan dunia metafisis. Dalam masyarakat modern yang cenderung rasionalis, sekuler dan materialis, ternyata tidak menambah kebahagiaan dan ketentraman hidupnya. Berkaitan dengan itu, Sayyid Hosein Nasr menilai bahwa akibat masyarakat modern yang mendewakan ilmu pengetahuan dan teknologi, berada dalam wilayah pinggiran eksistensinya sendiri. Masyarakat yang demikian adalah masyarakat Barat yang telah kehilangan visi keilahian. Hal ini menimbulkan kehampaan spiritual, yang berakibat banyak dijumpai orang yang stress dan gelisah, akibat tidak mempunyai pegangan hidup.

Untuk mengantisipasi hal-hal semacam di atas, maka diperlukan Keterlibatan langsung tasawuf dalam kancah politik dan ekonomi, hal ini dapat kita lihat dalam sejarah Tarekat Sanusiyah di berbagai daerah di Afrika Utara, Dalam kiprahnya, tarekat ini tidak henti-hentinya bekerja dengan pendidikan keruhanian, disiplin tinggi, dan memajukan perniagaan yang menarik orang-orang ke dalam pahamnya. Maka Fazlur Rahman menceritakan bahwa tarekat ini menanamkan disiplin tinggi dan aktif dalam medan pejuangan hidup, baik sosial, politik, dan ekonomi. Pengikutnya dilatih menggunakan senjata dan berekonomi (berdagang dan bertani). Gerakannya pada perjuangan dan pembaharuan, dan programnya lebih berada dalam batasan positivisme moral dan kesejahteraan sosial, tidak “terkungkung” dalam batasan-batasan spiritual keakhiratan. Coraknya lebih purifikasionis dan lebih aktif, memberantas penyelewengan moral, sosial dan keagamaan, maka Fazlur Rahman menamakannya sebagai Neo-Sufisme.

Kebutuhan akan kekuatan ekonomi dan teknologi saat ini sangat diperlukan bagi penunjang keberhasilan umat Islam demi menjaga dan mengangkat martabat umat itu sendiri, kerena sudah banyak terbukti bahwa umat Islam sering dijadikan bulan-bulanan oleh orang-orang kafir karena kelemahan mereka dibidang ekonomi yang akhirnya menjadikan mereka lemah dalam bidang teknologi dan politik, hal ini adalah suatu bahaya yang wajib dihilangkan dan dijauhi oleh orang-orang yang percaya terhadap Allah dan rasulnya, seperti dalam sabda rasul:



IMAM


”tidak boleh membahayakan diri sendiri atau orang lain”

kalau kita perhatikan saat ini bahaya dari terbengkalainya perekonomian sangat membahayakan umat, oleh karena itu pembenahan dalam bidang ekonomi sangat diperlukan sebagai perantara bagi umat untuk memperoleh kedamaian di Dunia dan Akhirat, dalam sebuah kaidah, ulama’ membuat sebuah kaidah di dalam menangapi berbagai perintah Allah demi memperoleh kesempurnaan dalam menjalankanya yang berbunyi: “segala bentuk perantara yang bisa menunjang kesempurnaan suatu kewajiban maka hukumnya menjadi wajib”.

Dari serangkaian paparan di atas kiranya kita bisa mengetahui bahwa perkembangan tasawuf mulai dari awal munculnya sampai pada saat ini memang dituntut untuk mengalami berbagai bentuk perubahan yang di sesuaikan dengan keadaan dan pola kebiasaan dari suatu Masyarakat, karana tasawuf ibarat makanan yang disuguhkan oleh para mursyid kepada suatu masa atau masyarakat yang berbeda-beda di setiap tempat dan waktu dan membutuhkan keahlian dan racikan yang berbeda pula, tetapi perubahan bentuk itu hanya sebatas pada bentuk luarnya saja, secara garis besar konsep dasar yang ada dalam tasawuf hanyalah satu, yaitu keyakinan, ketundukan, kepatuhan, pendekatan terhadap serta menjahui hal-hal yang bisa menganggu ibadah kepada Allah yang satu.

MENCARI ILMU

MENCARI ILMU

Sayyidina Ali K.W

1. Ilmu berhubungan dengan amal. Barangsiapa yang berilmu, niscaya mengamalkan ilmunya. Ilmu memanggil amal; maka jika ia menyambut panggilannya bila tidak menyambutnya, ia akan berpindah darinya.
2. Pelajarilah ilmu, niscaya kalian akan dikenal dengannya; dan amalkanlah ilmu (yang kalian pelajari) itu, niscaya kalian akan termasuk ahlinya.
3. Wahai para pembawa ilmu, apakah kalian membawanya? Sesungguhnya ilmu hanyalah bagi yang mengetahuinya, kemudian dia mengamalkannya, dan perbuatannya sesuai dengan ilmunya. Akan datang suatu masa, dimana sekelompok orang membawa ilmu, namun ilmunya tidak melampaui tulang selangkanya. Batiniah mereka berlawanan dengan lahiriah mereka. Dan perbuatan mereka berlawanan dengan ilmu mereka.
4. Orang yang beramal tanpa ilmu, seperti orang yang berjalan bukan di jalan. Maka, hal itu tidak menambah jaraknya dari jalan yang terang kecuali semakin jauh dari kebutuhannya. Dan orang yang beramal dengan ilmu, seperti orang yang berjalan di atas jalan yang terang. Maka, hendaklah seseorang memperhatikan, apakah dia berjalan, ataukah dia kembali?
5. Janganlah sekali-kali engkau tidak mengamalkan apa yang telah engkau ketahui. Sebab, setiap orang yang melihat akan ditanya tentang perbuatannya, ucapannya, dan kehendaknya.
6. Orang yang berilmu tanpa amal, seperti pemanah tanpa tali busur.




KESUCIAN DAN KEMULYAAN ILMU

1 Ilmu adalah sebaik-baik perbendaharaan dan yang paling indahnya. Ia ringan dibawa, namun besar manfaatnya. Di tengah-tengah orang banyak ia indah, sedangkan dalam kesendirian ia menghibur.
2 Pelajarilah ilmu karena sesungguhnya ia hiasan bagi orang kaya dan penolong bagi orang fakir. Aku tidaklah mengatakan, “Sesung¬guhnya ia mencari dengan ilmu,” tetapi “ilmu menyeru kepada qand 'ah (kepuasan).”
3 Umur itu terlalu pendek untuk mempelajari segala hal yang baik untuk dipelajari. Akan tetapi, pelajarilah ilmu yang paling penting, kemudian yang penting, dan begitulah seterusnya secara berurutan.
4 Janganlah engkau memperlakukan secara umum orang yang telah memberimu pengetahuan, tetapi perlakukanlah dia seperti orang-¬orang yang khusus. Dan ketahuilah bahwa Allah memiliki orang-¬orang yang dititipi-Nya rahasia-rahasia tersembunyi dan melarang mereka menyebarkan rahasia-rahasia-Nya itu. Ingatlah ucapan se¬orang laki-laki yang saleh (Khidhr) kepada Musa (a.s.), Musa a.s. sebelumnya berkata kepadanya:“Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu ?
“Dia menjawab, “Sesungguhnya kamu sekali¬kali tidak akan sanggup sabar bersamaku. Dan bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu yang kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu ?” QS 18:66-68).
5 Pelajarilah ilmu. Jika kalian tidak memperoleh keberuntungan de¬ngannya, maka dicelanya zaman bagi kalian lebih baik daripada ia dicela lantaran kalian.
6 Ilmu adalah kekuatan. Barangsiapa yang mendapatkannya, dia akan menyerang dengannya; dan barangsiapa yang tidak mendapatkan¬nya, dialah yang akan diserang olehnya.
7 Ilmu terbagi menjadi dua: yang didapatkan dengan mengikuti ( mathbu ) dan yang didapatkan dengan belajar ( masmu ), dan ilmu yang didapat dengan belajar tidak akan bermanfaat jika ia tidak dilaksanakan ( mathbu ).
8 Kecintaan terhadap ilmu termasuk kemuliaan cita-cita.
9 Seluruh wadah akan menyempit dengan apa yang diletakkan di dalamnya, kecuali wadah ilmu, karena sesungguhnya ia akan ber¬tambah luas.
10# Akal tidak akan pernah membahayakan pemiliknya selamanya, se¬dangkan ilmu tanpa akal akan membahayakan pemiliknya.
11 Jika jawaban berdesak-desakan, maka yang benar akan tersembunyi.
12 Bagian terpenting ilmu adalah kelemahlembutan, sedangkan cacat nya adalah pernyimpangan.
13 Jika engkau menghendaki ilmu dan kebaikan, maka kibaskanlah (hindarkanlah) dari tanganmu alat kebodohan dan kejahatan. Se¬bab, sesungguhnya tukang emas tidak akan memungkinkan bagi nya memulai pekerjaannya kecuali jika dia telah melemparkan alat pertanian dari tangannya.
1 Tiada kemuliaan seperti ilmu.
2 Ilmu adalah pusaka yang mulia.
3 Serendah-rendah ilmu adalah yang berhenti di lidah, dan yang paling tinggi adalah yang tampak di anggota-anggota badan.
4 Tetaplah mengingat ilmu di tengah orang-orang yang tidak menyukainya, dan mengingat kemuliaan yang terdahulu di tengah orang-orang yang tidak memiliki kemuliaan, karena hal itu termasuk di antara yang menjadikan keduanya dengki terhadapmu.
5 Jika Allah hendak merendahkan seorang hamba, maka Dia mengharamkan terhadapnya ilmu.
6 Jika mayat seseorang telah diletakkan di dalam kuburnya, maka muncullah empat api. Lalu datanglah shalat (yang biasa dikerjakannya), maka ia memadamkan satu api. Lalu datanglah puasa, maka ia memadamkan api yang satunya lagi (api kedua). Lalu datanglah sedekah, maka ia memadamkan api yang satunya lagi. Lalu datanglah ilmu, maka ia memadamkan api yang keempat seraya berkata, “Seandainya aku menjumpai api-api itu, niscaya akan aku padamkan semuanya. Oleh karena itu, bergembiralah kamu. Aku senantiasa bersamamu, dan engkau tidak akan pernah melihat kesengsaraan.”
7 Janganlah engkau membicarakan ilmu dengan orang-orang yang kurang akal karena mereka hanya akan mendustakanmu, dan tidak pula kepada orang-orang bodoh karena mereka hanya akan menyusahkanmu. Akan tetapi, bicarakanlah ilmu dengan orang yang menerimanya dengan penerimaan yang baik dan yang memahaminya.
8 Cukuplah ilmu itu sebagai kemuliaan bahwasanya ia diaku-aku oleh orang yang bukan ahlinya dan senang jika dia dinisbatkan kepadanya.

MEMBUJANG ALA SUFI

MEMBUJANG ALA SUFI


Sufi, adalah salah satu kelompok sempalan tempat beragam penyimpangan dari ajaran syariat ini berhuni. Salah satu ajaran menyimpang yang menonjol adalah tabattul (hidup membujang). Diyakini oleh penganut sufi, dengan “cara beragama” seperti ini, mereka lebih bisa mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Benarkah?

Di antara nikmat dan tanda kekuasaan Allah Subhanahu wa Ta'ala adalah disyariatkannya nikah, yang mana mendatangkan banyak maslahat dan manfaat bagi setiap individu dan masyarakatnya. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untuk kalian istri-istri dari jenis kalian sendiri, supaya kalian cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antara kalian rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.” (Ar-Rum: 21)
Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullahu berkata: “Nikah termasuk nikmat Allah Subhanahu wa Ta'ala yang agung. Allah Subhanahu wa Ta'ala syariatkan bagi hamba-Nya dan menjadikannya sebagai sarana serta jalan menuju kemaslahatan dan manfaat yang tak terhingga.” (Dinukil dari Taudhihul Ahkam, 4/331)
Bahkan Allah Subhanahu wa Ta'ala menyebutnya dengan lafadz perintah dalam beberapa ayat. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلاَثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلاَّ تَعُولُوا
“Dan jika kalian takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kalian menikahinya), maka nikahilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Namun jika kalian takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau budak-budak yang kalian miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (An-Nisa`: 3)
وَأَنْكِحُوا اْلأَيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللهُ مِنْ فَضْلِهِ وَاللهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
“Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara kalian, dan orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahaya kalian yang lelaki dan hamba-hamba sahaya yang perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memberikan kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (An-Nur: 32)
Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata:
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ! مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ، وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ، فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ
“Wahai para pemuda, barangsiapa di antara kalian telah mampu untuk menikah hendaknya menikah, karena itu akan lebih menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan. Barangsiapa yang tidak mampu, hendaknya berpuasa karena itu adalah pemutus syahwatnya.”
Ibnu ‘Abbas radhiyallahu 'anhuma berkata kepada Sa’id bin Jubair rahimahullahu: “Menikahlah, karena orang terbaik di umat ini adalah yang paling banyak istrinya.” (Dibawakan oleh Al-Bukhari rahimahullahu dalam Shahih-nya)
Bahkan para ulama menyatakan, seorang yang khawatir terjatuh dalam zina maka dia wajib menikah. Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan berkata: “Nikah menjadi wajib atas seorang yang khawatir terjatuh dalam zina jika meninggalkannya. Karena, itu adalah jalan bagi dia untuk menjaga diri dari perbuatan haram. Dalam keadaan seperti ini, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu berkata: “Jika seseorang telah perlu menikah dan khawatir terjatuh dalam kenistaan jika meninggalkannya, maka harus dia dahulukan dari amalan haji yang wajib.” (Mulakhkhash Al-Fiqhi, 2/258)
Seorang yang menikah dengan niat menjaga kehormatan dijamin oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala. Diriwayatkan dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata:
ثَلاَثَةٌ حَقٌّ عَلَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ عَوْنُهُمْ: الْمُكَاتَبُ الَّذِي يُرِيدُ اْلأَدَاءَ، وَالنَّاكِحُ الَّذِي يُرِيدُ الْعَفَافَ، وَالْمُجَاهِدُ فِي سَبِيلِ اللهِ
“Tiga golongan yang Allah akan menolong mereka: budak yang hendak menebus dirinya, seorang yang menikah untuk menjaga kehormatannya, dan seorang yang berjihad di jalan Allah.” (HR. An-Nasa`i, Kitabun Nikah, Bab Ma’unatullah An-Nakih Al-Ladzi Yuridul ‘Afaf, no. 3166)
Janganlah seseorang meninggalkan pernikahan karena mengikuti bisikan setan, dengan dibayangi kesulitan ekonomi, padahal dia telah sangat ingin menikah serta takut terjatuh dalam maksiat. Bertawakallah dengan disertai ikhtiar, karena Allah Subhanahu wa Ta'ala menjamin orang yang benar-benar bertawakal kepada-Nya. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللهِ فَهُوَ حَسْبُهُ
ﮧ ﮨ ﮩ ﮪ ﮫ ﮬﮭ
“Barangsiapa yang bertawakal kepada-Nya pasti Dia akan menjadi Pencukupnya.” (Ath-Thalaq: 3)

Tabattul ala Shufiyah (Sufi)
Tabattul adalah meninggalkan wanita dan pernikahan dengan dalih untuk fokus beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Tabattul adalah keyakinan Shufiyah yang menyelisihi prinsip Islam.
Al-Imam Ahmad rahimahullahu berkata: “Hidup menyendiri bukanlah termasuk ajaran Islam.” Beliau juga berkata: “Barangsiapa yang mengajak untuk tidak menikah, maka dia telah menyeru kepada selain Islam. Jika seorang telah menikah, maka telah sempurna keislamannya.” (lihat ucapan beliau dalam Al-Mughni karya Ibnu Qudamah rahimahullahu)
Apa yang beliau sebutkan didasari banyak dalil. Di antaranya, ketika ada tiga orang datang ke rumah sebagian istri Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan bertanya tentang ibadah beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam. Ketika kembali, sebagian mereka menyatakan: “Aku akan puasa terus menerus dan tidak akan berbuka.” Yang lain berkata: “Aku akan shalat malam, tidak akan tidur.” Dan sebagian lagi berkata: “Aku tak akan menikah dengan wanita.” Ketika sampai ucapan ketiga orang ini kepada beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata:
مَا بَالُ أَقْوَامٍ قَالُوا: كَذَا وَكَذَا؟! لَكِنِّي أُصَلِّي وَأَنَامُ، وَأَصُومُ وَأُفْطِرُ، وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ، فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي
“Kenapa ada orang-orang yang berkata ini dan itu?! Aku shalat malam tapi juga tidur, aku puasa tapi juga berbuka, dan aku menikahi wanita. Barangsiapa yang membenci sunnahku, dia tidak di atas jalanku.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Syaikhul Islam rahimahullahu berkata: “Berpaling dari istri dan anak (tidak mau menikah, pen.) bukanlah perkara yang dicintai Allah Subhanahu wa Ta'ala dan Rasul-Nya. Bahkan bukan agama para nabi dan rasul. Allah Subhanahu wa Ta'ala telah berfirman:
وَلَقْدَ أَرْسَلْنَا رُسُلاً مِنْ قَبْلِكَ وَجَعَلْنَا لَهُمْ أَزْوَاجًا وَذُرِّيَّةً
“Kami telah utus para rasul sebelum engkau dan kami berikan kepada mereka istri dan keturunan.” (Ar-Ra’d: 38) [Ucapan Ibnu Taimiyah rahimahullahu dinukil dari Taudhihul Ahkam]
Sehingga Al-Imam Asy-Syathibi rahimahullahu menyatakan bahwa meninggalkan nikah dengan niat sebagai ibadah termasuk bid’ah (yakni bid’ah tarkiyah). (Lihat Al-I’tisham karya Al-Imam Asy-Syathibi rahimahullahu)

Dalil-dalil yang Melarang Tabattul
Bahkan telah ada nash-nash khusus melarang tabattul. Dalam Ash-Shahihain, diriwayatkan bahwa Sa’d bin Abi Waqqash radhiyallahu 'anhu berkata:
رَدَّ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم عَلَى عُثْمَانَ بْنِ مَظْعُونٍ التَّبَتُّلَ، وَلَوْ أُذِنَ لَهُ لَاخْتَصَيْنَا
“Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menolak permintaan Utsman bin Mazh’un untuk terus membujang. Kalau beliau mengizinkannya, niscaya kami akan mengebiri diri kami.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Dalam hadits lain, Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu berkata:
كَانَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَأْمُرُ بِالْبَاءَةِ وَيَنْهَى عَنْ التَّبَتُّلِ نَهْيًا شَدِيدًا وَيَقُولُ: تَزَوَّجُوا الْوَدُودَ الْوَلُودَ إِنِّي مُكَاثِرٌ اْلأَنْبِيَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Rasulullah memerintahkan kami untuk menikah dan melarang kami bertabattul. Beliau berkata: ‘Nikahilah oleh kalian wanita yang subur (calon banyak anak), karena aku akan berbangga kepada para nabi di hari kiamat dengan banyaknya kalian’.” (Hadits shahih riwayat Ahmad)

Bid’ah Tabattul Menjerumuskan Shufiyah ke dalam Kubangan Maksiat
Pemikiran bid’ah yang ada pada Shufiyah ini menjerumuskan mereka kepada perkara-perkara yang menghinakan. Kami akan sampaikan apa yang telah diterangkan Asy-Syaikh Muqbil rahimahullahu ketika menjelaskan kejelekan-kejelekan Shufiyah. Beliau rahimahullahu berkata:
“…Di antara khurafat Shufiyah adalah mereka mengharamkan atas diri mereka apa yang Allah Subhanahu wa Ta'ala halalkan berupa menikah –padahal menikah merupakan sunnah para rasul–. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman dalam kitab-Nya:
وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلاً مِنْ قَبْلِكَ وَجَعَلْنَا لَهُمْ أَزْوَاجًا وَذُرِّيَّةً
“Kami telah utus para rasul sebelum engkau serta kami berikan kepada mereka istri dan keturunan.” (Ar-Ra’d: 38)
Nabi kita Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata:
حُبِّبَ إِلَيَّ مِنْ الدُّنْيَا النِّسَاءُ وَالطِّيبُ، وَجُعِلَ قُرَّةُ عَيْنِي فِي الصَّلَاةِ
“Dibuat cinta kepadaku dari dunia kalian minyak wangi dan wanita, serta dijadikan penyejuk mataku adalah shalat.”
Datang tiga orang kepada istri Nabi, bertanya tentang ibadah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Ketika diberi kabar sepertinya mereka menganggap sedikit, maka sebagian mereka berkata: ‘Adapun saya, akan shalat malam dan tak akan tidur.’ Yang lain berkata: ‘Aku akan puasa dan tak akan berbuka.’ Yang lainnya lagi berkata: ‘Aku tak akan menikahi wanita.’ Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam datang dan diberi tahu tentang ucapan mereka ini. Beliaupun berkata:
أَنْتُمْ الَّذِينَ قُلْتُمْ كَذَا وَكَذَا، أَمَا وَاللهِ إِنِّي لَأَخْشَاكُمْ لِلهِ وَأَتْقَاكُمْ لَهُ لَكِنِّي أَصُومُ وَأُفْطِرُ وَأُصَلِّي وَأَرْقُدُ وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ، فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي
“Kalian yang berkata demikian dan demikian, ketahuilah aku adalah orang yang paling takut di antara kalian kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dan paling bertakwa. Akan tetapi aku shalat malam dan tidur, aku berpuasa serta berbuka, dan aku menikahi wanita. Barangsiapa yang membenci sunnahku maka dia bukan berada di atas jalanku.”
Rabbul ‘Izzah berfirman:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لاَ تُحَرِّمُوا طَيِّبَاتِ مَا أَحَلَّ اللهُ لَكُمْ وَلاَ تَعْتَدُوا إِنَّ اللهَ لاَ يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (Al-Ma`idah: 87)
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman dalam Al-Qur`an:
يَابَنِي آدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلاَ تُسْرِفُوا إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ
“Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap shalat, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (Al-A’raf: 31)
Mereka menahan diri mereka dari wanita (tidak mau menikah, pen.). Siapakah yang mereka ikuti? (Mereka) mengikuti tokoh-tokoh Nashrani dan ‘abid (para ahli ibadah) dari kalangan Yahudi.
Akan tetapi, ketika mereka enggan kepada wanita, apa yang mereka lakukan? Mereka terfitnah oleh amrad (laki-laki yang wajahnya mirip wanita). Sampai pernah terjadi, seorang (Shufi) kasmaran kepada seorang amrad (sebagaimana dalam kitab Talbis Iblis). Ketika keduanya dipisah, dia berusaha untuk masuk menemuinya dan membunuhnya. Kemudian dia menangis di sisinya serta mengaku bahwa dialah yang membunuhnya. Ketika bapak si anak tersebut datang, diapun berkata: “Aku yang membunuhnya, aku minta kepadamu dengan nama Allah Subhanahu wa Ta'ala untuk meng-qishash-ku.” Tapi bapak si anak ini memaafkannya. Maka orang ini kemudian melakukan haji dan menadzarkan pahala hajinya bagi anak tersebut.
Dan yang lebih menjijikkan dari ini adalah ada seorang (dari kalangan Shufiyah, pen.) melakukan perbuatan nista (yakni liwath/homoseksual) dengan seorang anak kecil. Kemudian dia naik ke atap rumah –kebetulan rumahnya di atas laut– dan dia lemparkan dirinya (bunuh diri) seraya membaca ayat Allah Subhanahu wa Ta'ala:
فَتُوبُوا إِلَى بَارِئِكُمْ فَاقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ
“Maka bertaubatlah kepada Rabb yang menjadikan kamu dan bunuhlah dirimu.” (Al-Baqarah: 54)
Demikianlah keadaan Shufiyah. Masih banyak lagi kenistaan dan kebobrokan mereka, yakni dalam masalah wanita...” (Al-Mushara’ah, hal. 378-379, dengan sedikit perubahan)
Hendaknya seorang muslim menjaga agamanya dan mendasari setiap amalnya dengan Al-Qur`an dan As-Sunnah. Janganlah seseorang beramal hanya berdasarkan akal dan perasaan semata. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
اتَّبِعُوا مَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ مِنْ رَبِّكُمْ
“Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Rabb kalian.” (Al-A’raf: 3)
Ketahuilah, di antara sebab kesesatan manusia adalah ketika bersandar kepada akal dan perasaannya semata dalam beragama, seperti apa yang menimpa kaum Shufiyah. Mudah-mudahan kita senantiasa mendapatkan taufiq sampai akhir hayat kita.


Penyimpangan-penyimpangan dalam Masalah Nikah

Alangkah baiknya kita mengetahui juga masalah-masalah lain yang merupakan penyimpangan yang ada di sekitar kita. Perkara yang akan merusak dan mengotori aqidah kita.
Ketahuilah perbuatan syirik besar itu menggugurkan tauhid seseorang. Kebid’ahan menghalangi kesempurnaan tauhid seseorang. Sedangkan perbuatan maksiat yang lain akan mengotori dan menghalangi buah dari tauhid.
Banyak keyakinan, pemikiran, dan amalan sebagian muslimin yang berkaitan dengan masalah pernikahan telah menyimpang dari tuntunan Allah Subhanahu wa Ta'ala dan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Di antara pemikiran dan amalan menyimpang tersebut adalah:
1. Minta jodoh dan anak kepada selain Allah Subhanahu wa Ta'ala
Sebagian mereka ketika sulit mendapatkan jodoh atau anak, pergi ke kuburan atau tempat yang dianggap keramat untuk minta jodoh atau anak. Atau mereka pergi ke dukun. Padahal Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menyatakan:
الدُّعَاءُ هُوَ الْعِبَادَةُ
“Berdoa adalah ibadah.” (HR. At-Tirmidzi, Kitab Tafsiril Qur`an ‘an Rasulillah Shallallahu 'alaihi wa sallam, Bab Wa Min Suratil Baqarah, no. 2895)
Tidak boleh berdoa minta diberi jodoh, anak kecuali kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Karena berdoa adalah ibadah, barangsiapa yang berdoa kepada selain Allah Subhanahu wa Ta'ala berarti telah terjatuh dalam perbuatan syirik. Tidak boleh pula minta bantuan dukun atau yang disebut ‘orang pintar’. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menyatakan:
مَنْ أَتَى عَرَّافًا فَسَأَلَهُ عَنْ شَيْءٍ لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلاَةٌ أَرْبَعِينَ لَيْلَةً
“Barangsiapa yang mendatangi ‘arraf (dukun, ahli nujum, tukang ramal dan sejenisnya), kemudian bertanya sesuatu kepadanya, tak akan diterima shalatnya selama empatpuluh hari.” (HR. Muslim, Kitabus Salam, Bab Tahrimul Kahanah wa Ityanil Kuhhan, no. 4137)
Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata juga:
مَنْ أَتَى كَاهِنًا أَوْ عَرَّافًا فَصَدَّقَهُ بِمَا يَقُولُ فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ صلى الله عليه وسلم
“Barangsiapa yang mendatangi dukun atau ‘arraf, kemudian membenarkan ucapannya, berarti dia telah kafir terhadap apa yang diturunkan kepada Muhammad.” (HR. Ahmad dan lainnya)
Lihatlah bahaya mendatangi dukun! Semata mendatangi dan bertanya kepada dukun akan mengakibatkan tidak diterimanya shalat selama 40 hari. Jika membenarkannya, berarti telah mengingkari apa yang diturunkan kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

2. Tathayyur
Di antara penyelisihan aqidah dalam masalah menikah adalah melarang melakukan acara pernikahan di bulan atau hari tertentu (karena takut sial, ed.). Amalan seperti ini disebut tathayyur. Tathayyur adalah beranggapan sial pada semua yang dilihat, didengar, serta beranggapan sial pada tempat dan waktu tertentu.
Keyakinan sebagian orang bahwa bulan Shafar atau bulan Suro tidak boleh ada pernikahan karena akan ada bencana bagi yang menikah di bulan tersebut adalah keyakinan yang batil. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata:
لاَ عَدْوَى وَلاَ طِيَرَةَ وَلاَ هَامَةَ وَلاَ صَفَرَ
“Tidak ada penyakit menular (dengan sendirinya), tidak ada thiyarah/tathayyur, tidak ada pengaruh burung hantu, dan tidak ada (sial karena bulan) shafar.” (HR. Al-Bukhari, Kitab Ath-Thib, Bab La Hamah, no. 5316)
Ditafsirkan bahwa shafar adalah bulan Shafar, karena orang-orang jahiliah menganggap sial menikah di bulan Shafar. (Lihat Fathul Majid)

3. Tasyabbuh (meniru orang kafir)
Tasyabbuh (meniru) orang kafir adalah amalan yang haram dalam masalah pernikahan ataupun lainnya. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata:
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Barangsiapa yang menyerupai satu kaum maka termasuk golongan mereka.” (HR. Abu Dawud, Kitabul Libas, Bab fi Lubsi Asy-Syuhrah, no. 3512)
Di antara perkara tasyabbuh yang ada dalam pernikahan adalah apa yang disebut dablah (tukar cincin/ pertunangan, -ed). Jika sampai ada keyakinan bahwa selama cincin tersebut masih di tangan kedua mempelai maka akan tetap rukun rumah tangga keduanya, berarti telah terjatuh dalam kesyirikan. Jika seseorang memakainya tanpa ada keyakinan seperti itu, dia tetap terjatuh dalam tasyabbuh. Apalagi jika cincin tersebut dari emas, maka pengantin pria terjatuh dalam keharaman lainnya, karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata:
إِنَّ هَذَيْنِ حَرَامٌ عَلَى ذُكُورِ أُمَّتِي حِلٌّ لِإِنَاثِهِمْ
“Sesungguhnya dua benda ini (yakni emas dan sutera, pen.) haram atas laki-laki umatku dan halal bagi kaum wanitanya.” (HR. Ibnu Majah, Kitabul Libas, Bab Labsil Harir wadz Dzahab lin Nisa`, no. 3585)

4. Menikah dengan Orang yang Berbeda Agama
Ketahuilah, seorang mukmin dan mukminah, bagaimanapun keadaannya, mereka tetap lebih baik daripada orang kafir. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
وَلاَ تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ وَلَأَمَةٌ مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ وَلاَ تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّى يُؤْمِنُوا وَلَعَبْدٌ مُؤْمِنٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ أُولَئِكَ يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ وَاللهُ يَدْعُو إِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ وَيُبَيِّنُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ
“Dan janganlah kalian menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hati kalian. Dan janganlah kalian menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hati kalian. Mereka mengajak ke neraka, sedangkan Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.” (Al-Baqarah: 221)
Sangat disayangkan, banyak orangtua mengorbankan putrinya untuk mendapatkan dunia semata, menikahkan putrinya dengan orang kafir yang tidak halal bagi mereka. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا جَاءَكُمُ الْمُؤْمِنَاتُ مُهَاجِرَاتٍ فَامْتَحِنُوهُنَّ اللهُ أَعْلَمُ بِإِيْمَانِهِنَّ فَإِنْ عَلِمْتُمُوهُنَّ مُؤْمِنَاتٍ فَلاَ تَرْجِعُوهُنَّ إِلَى الْكُفَّارِ لاَ هُنَّ حِلٌّ لَهُمْ وَلاَ هُمْ يَحِلُّونَ لَهُنَّ
“Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah Subhanahu wa Ta'alaebih mengetahui tentang keimanan mereka; jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman, maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka.” (Al-Mumtahanah: 10)
Orang kafir –walaupun ahlul kitab– tidaklah halal bagi seorang wanita muslimah.

5. Tiwalah
Tiwalah adalah sesuatu yang dibuat dengan keyakinan bisa membuat suami cinta kepada istrinya atau istri kepada suaminya. Inipun satu amalan yang terlarang. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata:
إِنَّ الرُّقَى وَالتَّمَائِمَ وَالتِّوَلَةَ شِرْكٌ
“Sesungguhnya ruqyah, tamimah, dan tiwalah adalah syirik.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud)
Inilah sebagian kecil masalah aqidah yang dilanggar sebagian kaum muslimin dalam hal pernikahan. Masih banyak lagi penyimpangan yang terjadi dalam acara pernikahan seperti: sesajen, sembelihan untuk selain Allah Subhanahu wa Ta'ala, dan lainnya. Hendaknya setiap muslim berhati-hati, jangan sampai keyakinan dan amalannya terkotori syirik atau kebid’ahan. Sehingga dia bisa meninggal di atas tauhid dan di atas Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Walhamdulillah.

AMALAN DITERIMA

KENAPA AMALAN DITERIMA

“Kalau bukan karena indahnya tutupnya Allah swt, maka tak satu pun amal diterima.”Kenapa demikian? Sebab nafsu manusia senantiasa kontra dengan kebajikan, oleh sebab itu jika mempekerjakan nafsu, haruslah dikekang dari sifat atau karakter aslinya.
Dalam firmanNya: “Siapa yang yang menjaga nafsunya, maka mereka itulah orang-orang yang menang dan bahagia.”(Al-Hasyr 9)

Nafsu, ketika masuk dalam kinerja amaliah, sedangkan nafsu itu dasarnya adalah cacat, maka yang terproduksi nafsu dalam beramal senantiasa cacat pula. Kalau toh dinilai sempurna, nafsu masih terus meminta imbal balik, dan menginginkan tujuan tertentu, sedangkan amal itu inginnya malah ikhlas. Jadi seandainya sebuah amal diterima semata-mata bukan karena amal ansikh, tetapi karena karunia Allah Ta’ala pada hambaNya, bukan karena amalnya.

Abu Abdullah al-Qurasyi ra mengatakan, “Seandainya Allah menuntu ikhlas, maka semua amal mereka sirna. Bila amal mereka sirna, rasa butuhnya kepada Allah Ta’ala semakin bertambah, lalu mereka pun melakukan pembebasan dari segala hal selain Allah swt, apakah berupa kepentingan mereka atau sesuatu yang diinginkan mereka.”

Oleh sebab itu Ibnu Athaillah melanjutkan:
“Anda lebih butuh belas kasihan Allah swt, ketika anda sedang melakukian taat, dibanding rasa butuh belas kasihNya ketika anda melakukan maksiat.” Kebanyakan manusia memohon belas kasihan kepada Allah Ta’ala justru ketika ia menghadapi maksiat, dan merasa aman ketika bisa melakukan taat ubudiyah. Padahal justru yang lebih dibutuhkan manusia adalah Belas Kasih Allah ketika sedang taat. Karena ketika sedang taat, para hamba sangat rawan “taat nafsu”, akhirnya seseorang terjebak dalam ghurur, atau tipudaya dibalik amaliyahnya sendiri.

Rasulullah saw, bersabda:
“Allah Ta’ala menurunkan wahyu kepada salah seorang Nabi dari para NabiNya: “Katakanlah kepada hamba-hambaKu yang tergolong shiddiqun, jangan sampai mereka tertimpa tipudaya. Sebab Aku, bila menegakkan keadilanKu dan kepastian hukumKu kepada mereka, Aku akan menyiksa mereka, tanpa sedikit pun aku menzalimi mereka. Dan katakanlah kepada hambaKu yang ahli dosa, janganlah mereka berputus asa, sebab tak ada dosa besar bagiKu manakala Aku mengampuninya.”

Bahkan Abu Yazid al-bisthami ra mengatakan: “Taubat dari maksiat bisa sekali selesai, tetapi taubat karena taat bisa seribu kali pertaubatan.”
Mengapa kita harus lebih waspada munculnya dosa dibalik taat? Karena nafsu dibalik maksiat itu jelas arahnya, namun nafsu dibalik taat sangat lembut dan tersembunyi.
Diantara nafsu dibalik taat yang menimbulkan dosa dan hijab antara lain:
1. Mengandalkan amal ibadahnya, lupa kepada Sang Pencipta amal.
2. Bangga atas prestasi amalnya, lupa bahwa yang menggerakkan amal itu bukan dirinya, tetapi Allah swt.
3. Selalu mengungkit ganti rugi, dan banyak tuntutan dibalik amalnya.
4. Mencari keistemewaan amal, hikmah dibalik amal, lupa pada tujuan amalnya.
5. Merasa lebih baik dan lebih hebat dibanding orang yang belum melakukan amaliyah seperti dirinya.
6. Seseorang akan kehilangan kehambaannya, karena merasa paling banyak amalnya.
7. Iblis La’natullah terjebak dalam tipudayanya sendiri, karena merasa paling hebat amal ibadahnya.
8. Menjadi sombong, karena ia berbeda dengan umunya orang.
9. Yang diinginkan adalah karomah-karomah amal.
10. Ketika amalnya diotolak ia merasa amalnya diterima.

KEMELUT KEBANGSAAN

KEMELUT KEBANGSAAN

Pendekatan Sufistik
Sebuah kitab berjudul “Al-Munqidz minadh-Dhalal” karya Hujjatul Islam Al-Ghazali, Ulama besar abad VI hijriyah, telah mengilhami banyak kesadaran spiritual umat Islam, bahkan masyarakat dunia ketika itu. Makna dari judul itu adalah “Penyelamat dari kegelapan”.

Sebuah wacana yang mengingatkan kita semua, bahwa siklus moralitas manusia, akan menuju titik jenuhnya, dan secara dramatis telah memasuki abad-abad kegelapan yang mengerikan.

Dalam konteks kebangsaan kita dewasa ini, bentangan sejarah masa lalu merupakan mosaik yang memantulkan tiga wajah sejarah yang saling memperebutkan hegemoni, tanpa disadari hegemoni-hegemoni itu seringkali membiaskan gambaran, betapa drama para pemimpin negeri, konstelasi ideologi dan kepentingan pragmatis menjadi warna yang saling bergulungan satu sama lainnya. Lalu hari ini, tiba-tiba kita sudah berada di hamparan pulau asing, tanpa horison perspektif dan kaki langit yang jelas. Hari ini adalah kenyataan-kenyataan dari pantulan mosaik yang buram dari masa lalu yang kelam.

Kitab Al-Ghazali itu, tentu saja masih relevan untuk menimbang moralitas kebangsaan kita hari ini, untuk sebuah solusi besar yang mondial. Karena sesungguhnya, masalah-masalah kontemporer dari soal KKN, delegitimasi politik, dan konspirasi masih terus berlangsung.

Di satu sisi, ada lapisan generasi muda yang hendak bangkit mewarnai negeri ini harus tumbuh dengan situasi konflik horisontal dan ideologis, tanpa lahir dari kandungan “kasih sayang” kebudayaan politik generasi tua, sedangkan di lain pihak, desakan-desakan internasional yang sulit dibendung ketika globalisasi terus menggulung belahan bangsa yang belum sama sekali siap menyongsong suatu abad, dimana hegemoni masyarakat industri semakin liar menancapkan “penjajahan baru”.Tidak hanya generasi muda, tetapi juga generasi tua, tidak bisa bicara banyak, dalam menghadapi tantangan-tantangan internasional seperti itu, mengingat moralitas kebangsaan kita masih berada di dalam proses penyembuhan dari penyakit jiwanya.

Makanya, opini publik mengalami kontaminasi luar biasa, bahkan sampai pada tingkat paling maniak, publik harus memendam kekecewaan yang mendalam, karena lipatan-lipatan peristiwa yang terorganisir, dalam fluktuasi yang bergelombang, tanpa bisa diduga kemana arah angin yang menuntun kapal bersar bangsa ini tertuju. Situasinya sedemikian keruh, saling tumpang tindih peran, karena masing-masing kelompok sesungguhnya berada dalam jurang ketakutan, dengan saling membangun alibi yang sangat instan.


Drama Kemelut
Drama kebangsaan itulah yang menyebabkan hilangnya prioritas kerja besar yang mesti diagendakan, berbalik tanpa skenario ke depan yang menjanjikan, keculai perubahan skenario yang serba mendadak, dan membuat berbagai kebijakan terasa gagap. Padahal ada kata bijak yang sering diungkap oleh para Ulama, “Dar’ul Mafasid Muqaddamun ‘ala Jalbil Mashalih”, yang berarti meninggalkan atau membersihkan mafsadah bangsa ini harus diprioritaskan ketimbang reformasi. Kaidah arif ini sama seperti tergilas oleh usaha reformasi, yang muncul bukan karena sebuah TIB yang merespon masa depan, tetapi lebih sebagai eskapisme dan kekecewaan atas penidasan struktural maupun kultural di masa Orba.

Hari ini kita menghadapi tiga masalah besar yang mesti diselesaikan tanpa harus mempertimbangkan lagi toleransi-toleransi politis:

Masalah pertama, adalah robeknya spirit merah putih dalam compang camping sejarah hari ini. Merah putih yang menjadi simbol nasionalisme harus banyak ditarik oleh tangan-tangan ambisi yang sangat kotor: Kalau bukan tangan yang menginginkan merebut merah putih agar tergenggam erat di tangannya, sebagai legitimasi atas kekuasaan yang diraihnya, maka merah putih malah dirobek untuk ditambal dengan warna-warni lainnya atas nama aspirasi publik di negeri yang terbuka peluang-peluang demokrasi dan HAM-nya.

Sementara watak demokrasi TIB sendiri belum mendaratkan dirinya pada landasan kebangsaan yang kokoh, dalam wujudnya yang eksistensial sebagai demokrasi khas Indonesia, sehingga simbol-simbol ideologis di luar merah putih sangat antusias untuk turut mewarnai bendera nasional kita. Lebih sederhana, sesungguhnya ada masalah ideologis saling tarik menarik antar kekuatan politik di negeri ini, ditambah dengan kekuatan politik non ideologis yang opportunis.

Masalah kedua, berkait dengan etika dan etos penyelenggaraan negara. Sampai pada kesimpulan, bangsa kita telah “mati rasa” dengan ungkapan soal etika, mulai dari anak-anak remaja sampai kaum elit di Jakarta. Kita harus jujur dan terbuka, bahwa “akhlak bangsa” kita telah tersungkur dalam degradasi watak-watak kebangsaan dari bangsa-bangsa di dunia, dalam berbagai sektor kehidupan. Kalau boleh diungkapkan dengan satu kata saja, kita hanya bisa berucap, “Astaghfirullahal ‘Adzim”, sebagai ungkapan satu-satunya bagi ketidakberdayaan moral kita.

Sebab apa yang disebut sebagai perselingkuhan moral terjadi dimana-mana, di ketiak-ketiak birokrasi, dibalik kata-kata “perjuangan” di Senayan, bahkan yang paling mengerikan ketika moral dijualbelikan di balik api konflik SARA, lalu dimanage untuk hegemoni kepentingan, tanpa sedikit pun para pelakunya merasa bersalah, karena lembaga peradilan moral kita tak pernah bergeming kecuali hanya terbatas pada teriakan-teriakan protes atas pelanggaran HAM dan formalisme-formalisme hukum yang bisa dimainkan oleh para pemegang opsi hukum di lembaga peradilan.

Drama moral kebangsaan ini, kemudian bisa kita lihat dari tiga aspek yang nyata: moral individu, moral publik dan moral aparat negara, yang masing-masing diperlemah oleh sanksi-sanksi moral dalam ketidakpastian hukum. Lalu pertanyaan yang belum bisa terjawab, karakteristik bangsa seperti apakah yang menjadi predikat kita hari ini? Lalu kapankah kita bisa disebut sebagai sosok bangsa yang bangkit dari reruntuhan moral ini?

Masalah ketiga, mengadapi globalisasi, khususnya paska tragedi Sebelas September lalu hingga bom Bali, sampai krisis Irak, bahkan krisis global baru-baru ini, yang dicemaskan berdampak ke negeri kita, lalu muncul Drama Century yang dahsyat.

Menghadapi globalisasi berarti duduk bersama dalam Tata Dunia Baru, yang sejak awal Indonesia telah dipandang sebagai bangsa dan negara yang tidak begitu penting, sehingga tidak pernah terdengar sedikit pun perjuangan untuk terlibat dalam pengambilan keputusan tentang arah Tata Dunia Baru tersebut. Kalau harus memilih untuk pengambilan keputusan sejarah, bangsa Indonesia lebih memilih menjadi bangsa yang “terhibur” oleh globalisasi, ketimbang sebagai bangsa yang dihargai sama, dengan bangsa-bangsa lain.

Sebagai bangsa yang terhibur, mereka tiba-tiba telah jatuh tersungkur dalam kubangan ekonomi dan mata uang dengan waktu yang singkat dan cepat. Faktanya, bangsa kita tidak pernah serius dalam soal hubungan internasional, lalu sekali lagi hanya bisa menghibur diri dengan ungakapn-ungkapan yang membius, sebagai “bangsa besar.” Bahkan apa sesungguhnya globalisasi itu, kemana arahnya, bangsa kita tidak pernah peduli, karena memang tidak tahu, skenario yang sesungguhnya.


KACAMATA SUFISTIK
Keluar dari tiga masalah besar tersebut, kita perlu urai masing-masing pendekatan melalui kacamata Sufistik, sebuah pendekatan dimensi moral; terdalam dari pengalaman teosofis kita, agar ada kejernihan nurani dalam memandang dimensi ke-Indonesiaan dari sisi hakiki yang selama ini terabaikan, namun sesungguhnya sangat fundamental.

Untuk solusi benturan psikhologis dibalik tarik-menarik ideologi kebangsaan, dunia Sufi memandang dari proses pergumulan ini dengan dua kaidah Sufi yang tertera dalam kitab Al-Hikam karya Ibnu Athaillah as-Sakandari, Ulama Sufi besar satu abad paska Al-Ghazali, yang cukup relevan.

Kaidah Alhikam pertama, berbunyi, “Tanda-tanda sebuah bangsa terlalu mengandalkan nama besarnya, egoismenya, amaliahnya, adalah hilangnya optimisme masa depan di depan Allah ketika bangsa itu berbuat kesalahan.”

Kaidah Alhikam kedua, jika ditafsirkan lebih “berkebangsaan” bisa berbunyi, “Kehendak bangsa yang ingin memasuki dunia serba Ilahi, sementara Tuhan masih memposisikan bangsa itu di wilayah atau alam logika sebab akibat historis, sesungguhnya bangsa itu sedang terseret oleh emosi-emosinya yang masih tersembunyi didalam jiwa bangsa itu. Dan sebaliknya suatu bangsa yang telah diposisikan Allah untuk memandang perspektifnya dari serba Ilahi, tiba-tiba mereka memaksakan dirinya untuk terlibat dalam alam logika sebab akibat, sesungguhnya bangsa itu sedang berada dalam degradasi derajat kebangsaannya.”
Hikmah Sufi itu, menggambarkan tentang etika penyelenggaraan kekuasaan dan politik di negeri kita, agar kembali pada proporsi pandangan hidup berbangsa yang benar:

Manakah yang dijadikan dasar perjuangan ideologis, religius, hubungan-hubungan strategis dan kultur yang hendak dibangun, mengingat masing-masing saat ini berada dalam tumpang tindih yang satu sama lain saling mengintervensi. Tidak jelas dalam praktek kehidupan berbangsa, mana yang masuk sebagai wilayah Ketuhanan, wilayah kemanusiaan, wilayah interaksi kebangsaan yang plural, dan mana wilayah serta tarik menarik budaya dan ideologinya.

Dunia Sufi memandang persoalan lebih bersifat deduktif, dari wilayah kedalam hakikat kultural, kemudian diwujudkan dalam kerangka besar kebangsaan, mengingat sejarah kebangsaan kita sesungguhnya mendahului sejarah kenegaraan kita. Sehingga formalisme negara, tidak akan kokoh manakala tidak mendasarkan pada kultur kebangsaannya.

Nasionalisme modern yang dijadikan wacana Tata Indonesia Baru (TIB) tidak bisa melepaskan diri dari tiga masalah besar sebelumnya: Watak ideologis; Etika penyelenggaraan negara dan Tata Dunia Baru dalam pergumulan globalisasi. Ketiganya muncul dalam kerucut demokrasi yang harus dipraktekkan dalam watak kebudayaan kita, dengan etika-etika dan kepastian hukum yang berlaku. Jangan sampai kita terjebak oleh arus besar globalisasi tanpa menyertakan perimbangan dari berbagai dimensi kebangsaan kita secara lebih demokratik, mengingat kesepakatan tentang demokrasi yang hendak kita bangun masih dalam perdebatan konstelatif yang panjang.

Misalnya, bagaimana wujud demokrasi dalam praktek birokrasi pemerintahan kita, bagaimana pula model yang akan muncul dalam praktek peradilan kita, bahkan dalam hubungan antar partai dan lembaga-lembaga tinggi negara serta hubungan internasional. Pertanyaan berikut masih harus diselesaikan menyangkut keadilan ekonomi, prinsip-prinsip Hankam yang demokratik, dan hubungan antara daerah dengan pusat dalam kerangka Otonomi Daerah.


TIGA PENDEKATAN
Proses-proses horisontal kebangsaan itu, menurut dunia Sufi diposisikan menjadi tiga konstelasi besar.
Pertama, konstelasi yang berhubungan dengan sistem konstitusi, sistem politik, penegakan HAM serta sistem sosial yang pluralistik ini. Inilah yang disebut sebagai sistem syar’iyat, dimana lapisan-lapisan dunia lahiriyah berinteraksi untuk kepentingan publik.

Pada sistem syar’iyat, aturan hukum -- namun bukan sebagaimana digerakkan oleh kekuatan-kekuatan formalisme syariat Islam selama ini – , kita berpijak pada gagasan besar membangun kehidupan terbuka, adil dan memihak pada kepentingan rakyat. Pada level inilah Allah swt, memberikan kebebasan kepada publik untuk menentukan kebajikan publiknya, yang kelak memberi penguatan struktural pada sistem politik, penyelenggaraan negara, dan kemakmuran ekonomi rakyat. Inilah yang disebut kaum Sufi dengan penataan kehidupan lahiriyah (Ishlahudz-Dzowahir).

Kedua, konstelasi yang berhubungan dengan sistem kebudayaan, penguatan akan keyakinan moral dan akhlak bangsa. Sistem ini disebut sebagai metode Thariqat, dimana inspirasi teologis menggerakkan etika publik dan individu. Hubungan teologis dalam kehidupan sosial politik dan ekonomi, hanyalah hubungan inspiratif, karenanya tidak bisa diformulasikan dalam pasal-pasal formal konstitusi. Kelak secara langsung, hubungan ini akan membentuk watak kebangsaan kita dalam sistem kebudayaan.

Konstelasi ini diperlukan mengingat kultur teologis bangsa kita sangat beraneka, satu sama lain membutuhkan akomodasi yang proporsional. Tanpa akomodasi kultural seperti itu, demokratisasi yang kita kembangkan akan mengalami kebuntuan moral, karena demokrasi hanya akan menimbang mayoritas dan minoritas untuk menentukan kalah dan menang. Jika hal demikian diterapkan di negeri ini, kekuatan-kekuatan minoritas akan tertindas oleh diktator mayoritas, sekalipun mayoritas itu mengatasnamakan Tuhan untuk legitimasi politiknya. Cara ini untuk menghindari mafioso minoritas yang ekstrim dalam tata ekonomi dan kekuasaan, sebagaimana telah terjadi di masa Orde Baru dulu.

Etika kebangsaan akan berpijak pada tipikal “Thariqat” ini, yang bia dilaksanakan melalui sistem pendidikan nasional. Dengan demikian, sistem Diknas kita perlu perubahan reformatorik, bukan saja kualitas dunia kependidikan kita yang telah terdegradasi dari kualifikasi pendidikan internasional, mengingat peringkat kita telah turun derajatnya menjadi urutan sangat bawah, dibanding Vietnam yang sudah berada di urutan ke 40, dan Malaysia di urutan ke 12. Tetapi juga, dunia pendidikan kita telah kehilangan watak keluhurannya dalam membentuk watak budi pekerti generasi muda bangsa ini.

Pendidikan kita tidak memberi garansi moral para calon pemimpin dan politisi untuk memiliki etika, juga tidak menjamin seorang pengusaha dan penguasa bisa bebas dari hasrat KKN. Jika ini dibiarkan akan muncul anarkhisme moral yang sangat mengancam seluruh elemen bangsa ini, ketika moral hanya dijadikan alibi untuk menipu publik. Masya Allah!

Ketiga, konstelasi hakikat, bahwa seluruh muara membangun kebersamaan dalam berbangsa ini harus didasari oleh sebuah tujuan mulia, yaitu memandang Cahaya Ketuhanan dibalik proses bersejarah, bahwa segala muara bangsa ini dariNya, bersamaNya, menuju padaNya, besertaNya, lebur padaNya, hanya bagiNya dan bersandar padaNya. Jika terjadi sungguh sangat bercahaya bangsa ini.